Full width home advertisement

Perjalanan Umroh & Haji

Explore Nusantara

Jelajah Dunia

Post Page Advertisement [Top]

LAPORAN HASIL KUNJUNGAN

MENGIKUTI PROSES PERSIDANGAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT TENTANG PERKARA CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Jakarta Pusat

Pada awalnya, dahulu Pengadilan Agama Jakarta Pusat bernama Majlis Distrik sebagaimana nama awal pada saat didirikan oleh Kolonial Belanda pada tahun 1828 yang kemudian bernama Priesterraad atau Penghoeloegerecht atau Raad Agama berdasarkan stbl 1882 no.152. Selanjutnya Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang merupakan penerus dan pelanjut bagi Pengadilan Agama Jakarta sebagai mana tersebut dalam Keputusan Menteri Agama RI no . 4 tahun 1967, maka sejak tanggal 17 Januari 1967 Pengadilan Agama Jakarta Pusat bernama Pengadilan Agama Istimewa Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya sebagai pengadilan induk yang memiliki empat kantor cabang Pengadilan. Oleh karena Majlis Distrik didirikan berdasarkan Ketetapan Komisaris Jendral Hindia Belanda no 17 tanggal 12 Maret 1828, maka selayaknya tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari Kelahiran Pengadilan Agama Jakarta Pusat.[1]

Pengadilan Agama Jakarta Pusat di pimpin oleh H. Masrum M Noor MH, beliau merupakan Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat periode 2009 sampai dengan sekarang, berkantor di Jl. K. H. Mas mansur , Gg. H. Awaluddin II/2, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Dalam hal ini, Visi dan Misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat adalah sebagai berikut :

Sesuai dengan yang diamanatkan pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, juncto pasal 57 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, maka Pengadilan Agama Jakarta Pusat mencanangkan VISI sebagai berikut :

TERWUJUDNYA PELAYANAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT YANG PRIMA”

Untuk dapat mewujudkan cita-cita sebagaimana tersebut di atas, maka Pengadilan Agama Jakarta Pusat menetapkan MISI sebagai berikut :

1. Meningkatkan kualitas pelayanan hukum

  1. Meningkatkan profesionalisme aparatur peradilan agama
  2. Mewujudkan manajemen peradilan agama yang modern

Pada tanggal 17 Januari 1967 dengan Keputusan Menteri Agama No. 4 tahun 1967 tertanggal 17 Januari 1967, bernama Pengadilan Agama Istimewa Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya yang daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.

Pengadilan Agama Jakarta Pusat memiliki wilayah yurisdiksi yang meliputi 8 kecamatan dan 44 kelurahan antara lain :

  1. Kecamatan Gambir, meliputi Kelurahan Gambir, Kelurahan Kebon Kelapa, Kelurahan Petojo Selatan, Kelurahan Duri Pulo, Kelurahan Cideng dan Kelurahan Petojo Utara
  2. Kecamatan Tanah Abang, meliputi Kelurahan Bendungan Hilir, Kelurahan Karet Tengsin, Kelurahan Kebon Melati, Kelurahan Kebon Kacang, Kelurahan Kampung Bali dan Kelurahan Petamburan
  3. Kecamatan Menteng, meliputi Kelurahan Menteng, Kelurahan Pegangsaan, Kelurahan Cikini, Kelurahan Kebon Sirih, dan Kelurahan Gondangdia
  4. Kecamatan Senen, meliputi Kelurahan Senen, Kelurahan Kwitang, Kelurahan Kenari, Kelurahan Paseban, Kelurahan Kramat dan Kelurahan Bungur
  5. Kecamatan Cempaka Putih, meliputi Kelurahan Cempaka Putih Timur, Kelurahan Cempaka Putih Barat dan Kelurahan Rawasari
  6. Kecamatan Johar Baru, meliputi Kelurahan Galur, Kelurahan Tanah Tinggi, Kelurahan Kampung Rawa, dan Kelurahan Johar Baru
  7. Kecamatan Kemayoran, meliputi Kelurahan Gunung Sahari Selatan, Kelurahan Kemayoran, Kelurahan Kebon Kosong, Kelurahan Harapan Mulya, Kelurahan Cempaka Baru, Kelurahan Utan Panjang, Kelurahan Sumur Batu, dan Kelurahan Serdang
  8. Kecamatan Sawah Besar, meliputi Kelurahan Pasar Baru, Kelurahan Gunung Sahari Utara, Kelurahan Mangga Dua Selatan, Kelurahan Karang Anyar, dan Kelurahan Kartini.

Pengadilan Agama Jakarta Pusat memiliki 10 Hakim, antara lain Drs. H. Ahmad Manshur Noor, Dra. Hj. Nadirah Basir, SH.MH, Drs. Yusran, Dra. Ratna Jumila, Dra. Hj. Nuroniah, SH, Drs.H. Imbalo,SH., MH, Drs. Rohmad Ariadi, SH, Drs. Rusman Mallapi, SH., MH, Drs. Nazarlis Chan, dan Drs. Hafifulloh, SH.MH.

B. Tugas Pokok dan kewenangan Pengadilan Agama Jakarta Pusat

Tugas pokok Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman ialah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya (pasal 2 ayat 1 UU No.14 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman), termasuk didalamnya menyelesaikan perkara Voluntair (penjelasan pasal 2 ayat 1 tersebut). Berdasarkan ketentuan undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan terakhir atas undnag-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, khususnya pasal 1,2,49 dan penjelasan umum angka 2, serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, antara lain: Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, PP No.28 Tahun 1977 Tentang perwakafan tanah milik, Inpres No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Permenag No. 2 Tahun 1987 yang diubah dengan Permenag No. 3 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim.[2]

Begitu pula tugas Pengadilan Agama Jakarta Pusat adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu diantara orang Islam atau yang mewujudkan diri dengan hukum islam berupa: Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh dan ekonomi Syari’ah.[3]

Selain dari tugas pokok diatas, Peradilan Agama mempunyai tugas tambahan baik yang diatur dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan lainnya yaitu:

1. Memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah apabila diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang No. 7/1989)

2. Menyelesaikan permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang Islam. (Pasal 107 ayat (2) undangundang No. 7/1989). Hal ini sudah jarang dilakukan karena Undang-undang No.3 Tahun 2006 telah mengatur dibolehkannya penetapan ahli waris dalam perkara voluntair

3. Memberikan Isbath kesaksian rukyat hilal dalam penentuan wal bulan tahun hijriyah (Pasal 52 A UU No.3 Tahun 2006)

4. Melaksanakan tugas lainnya seperti pelayanan riset/penelitian dan tugastugas lainnya.

Sedangkan yang merupakan kompetensi absolut Peradilan Agama adalah terdapat pada pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, yang berbunyi ayat (i) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang yang beragan Islam dibidang: Perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hokum Islam, wakaf dan Shadaqah.

Pengadilan Agama Jakarta Pusat juga memiliki kewenangan khusus terkait dengan kompetensi relatif yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Kewenangan khusus tersebut berkaitan dengan memungkinkannya Pengadilan Agama Jakarta Pusat dijadikan sebagai alternatif tempat berperkara bagi para pihak yang berkediaman di luar negeri.

C. Hukum Formil Peradilan Agama

Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. (Pasal 54 UU No. 7/1989 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan terakhir di rubah dengan UU No. 50 tahun 2009)

D. Sidang I tentang Cerai Talak (CT)

Dalam persidangan pertama ini Pemohon hadir tanpa hadirnya Termohon, dan Termohon sudah dipanggil secara patut satu kali selama satu bulan dikarenakan termohon berada di luar wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Pusat, yakni Termohon berada di Jogjakarta. Didalam hal pemanggilan kepada Termohon (istri) dalam perkara permohonan cerai talak selabat-lambatnya hari ke-27 sejak perkara terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama, sebab sidang pertama untuk perkara itu selambat-lambatnya 30 hari sejak perkara terdaftar, sedangkan surat panggilan sekurang-kurangnya 3 hari sebelum sidang sudah diterima oleh pihak yang dipanggil.

Namun Hakim berpendapat bahwa perlu pemanggilan untuk yang kedua kalinya lagi untuk Termohon dan tidak bisa langsung memeriksa perkara tersebut pada sidang pertama ini, dan sidang di tunda selama satu minggu kedepan dilanjutkan pada tanggal 18 Juni 2012 dengan agenda sidang pemeriksaan bukti dan keterangan saksi-saksi apabila Termohon tidak juga datang memenuhi panggilan pengadilan untuk yang kedua kalinya ini.

Secara teori dan praktek hokum acara yang dilakukan atau dijalankan oleh Majelis Hakim pada persidangan ini telah sebagaimana mestinya dalam hokum acara peradilan agama yang berlaku di pengadilan agama itu sendiri, memang dalam pemanggilan Termohon ataupun Tergugat harus dilakukan secara cermat dan patut, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan aturan yang ada, dan hak Termohon ataupun Tergugat untuk dipanggil secara patut sudah tertunaikan serta berjalan dengan mestinya.

Surat Panggilan (Relaas) merupakan salah satu instrument yang sangat penting dalam proses beracara di pengadilan, tanpa surat panggilan maka kehadiran para pihak di persidangan tidak mempunyai dasar hukum. Surat Pangilan (Relaas) dalam Hukum Acara Perdata dikatagorikan sebagai akta autentik. Pasal 165 HIR dan 285 R.Bg serta pasal 1865 BW menyebutkan akta autentik adalah suatau akta yang dibuat dihadapan pegawai umum dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang yang berlaku. Sehingga apa yang dimuat dalam relaas harus dianggab benar kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Panggilan dalam Hukum Acara Perdata adalah menyampaikan secara resmi (Official) dan Patut ( Properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan. Yang dimaksud Resmi adalah pemanggilan harus tepat menurut tata cara yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan yang disebut Patut adalah dalam menetapkan tanggal dan hari persidangan hendaklah memperhatikan letak jauh dekatnya tempat tinggal pihak-pihak yang berperkara, yakni tenggang waktu yang ditetapkan tidak boleh kurang dari tiga hari sebelum acara persidangan dimulai dan didalamnya tidak termasuk hari besar atau hari libur.

Pada saat Juru Sita atau Juru Sita Pengganti melakukan tugas pemanggilan kepada para pihak khususnya pemanggilan diluar yurisdiksi pengadilan, dijumpai beberapa hambatan dan kendala yang berakibat mengalami kelambatan dan menghambat proses penyelesaian perkara karena terbentur dengan sistem procedural sebagaimana yang dikehendaki oleh peraturan yang berlaku. Beberapa kendala tersebut antara lain :

1. Suatu panggilan yang dilakukan oleh petugas dimana para pihak tidak berada ditempat kediamannya, maka panggilan disampaikan melalui Kepala Desa atau Lurah. Dalam Praktek pemanggilan juru sita mengalami kesulitan antara lain karena jarak antara rumah para pihak dengan kantor kepala desa cukup jauh dan atau sering dijumpai Kepala desa dan aparatnya tidak berada ditempat dan dalam praktek dijumpai juga kepala desa tidak mengenal warganya karena wilayahnya sangat luas dan penduduknya sangat padat, sehingga sering jurusita kembali lagi dan mengulangi panggilan pada hari berikutnya.

2. Suatu panggilan yang dilakukan diluar yurisdiksi, sering mengalami kelambatan antara lain relaas belum diterima sementara waktu sidang telah tiba akibatnya sidang ditunda beberapa kali, hal ini karena lambatnya petugas melakukan panggilan dan pengiriman serta waktu pengiriman melalui pos juga memakan waktu yang lama.

Berkaitan dengan beberapa kendala diatas ada beberapa alternatif jalan keluar yang dilakukan oleh sebagian pengadilan sehingga kendala tersebut dapat diminimalisir antara lain :

1. Jika para pihak tidak berada ditempat kediamannya maka panggilan dilakukan melalui ketua RT. Hal ini karea RT lah yang dekat dan mengetahui persis warganya, disamping itu jarak para pihak dengan pejabat RT relatif agak dekat dibanding kantor kepala desa.

2. Bagi panggilan diluar yurisdiksi atau para pihak yang berada sangat jauh dengan kantor pengadilan dan ternyata beberapa pengadilan dan para pihak telah memanfaatkan fasilitas tehnologi, antara lain panggilan dilakukan melalui Faximilie, dan ada pendapat yang menyarankan melalui Email, Surat Pos dan Sms Centre.

E. Sidang II tentang Cerai Gugat (CG)

Perkara Cerai Gugat ini antara Fera Yulianti bin M. Rifai selanjutnya di sebut Penggugat melawan Budi Yuliartono bin Amir selanjutnya disebut Tergugat, dan agenda persidangan yang dihadiri penulis sudah sampai kepada tahap pemeriksaan dan pembacaan putusan. Dan Tergugat sudah di panggil dua kali oleh juru panggil Pengadilan Agama Jakarta Pusat, dan surat pemanggilan sudah sampai dan diterima oleh Lurah tempat Tergugat tinggal, namun Tergugat tetap tidak datang, artinya Tergugat tidak hadir dalam persidangan..

Secara teori pemanggilan Tergugat sudah patut dengan dilakukan 2 kali pemanggilan selama satu bulan, surat panggilan disampaikan melalui lurah karena Tergugat tidak ada di tempat, akibatnya karena memang Tergugat sudah dipanggil secara patut, ia dan kuasa sahnya tidak datang menghadap maka konsekwensinya perkara tersebut akan diputus dengan Verstek.

Selanjutnya Hakim ketua membacakan surat gugatan penggugat, dalam positanya dijelaskan bahwa :

1. Fera telah menikah dengan Budi sejak tanggal 18 Maret 2001, setelah pernikahan itu tinggal bersama di kediaman rumah Terguga, dan selama pernikahan sudah dikaruniai seorang anak bernama dewi sekar dan hidup rukun dalam satu rumah.

2. Mulai tanggal 17 Desember 2002 mulai terjadi kegoncangan dalam rumah tangga, penyebababnya ; sering ikut campurnya pihak keluarga Tergugat dalam masalah keuangan keluarga, sering berkata kasar dan tidak menghargai perasaan Penggugat, misal dengan berkata “dasar istri Goblok” dan lain sebagainya, tidak memberikan nafkah selama 3 tahun mulai bulan juli 2009 sampai 2012.

3. Selain itu Tergugat juga dalam berhubungan intim menurut pengakuan Penggugat, Tergugat bertingkah tidaklah wajar sebagaimana biasanya berhubungan intim kebanyakan orang.

Dalam petitanya, Penggugat memohon kepada Pengadilan untuk mengabulkan gugatan Penggugat, dan Penggugat tetap pada gugatannya yakni tetap ingin bercerai dengan Suami Penggugat.

Setelah pembacaan surat gugatan selesai, kemudian selanjutnya pemeriksaan bukti tertulis, yakni foto copy Buku Nikah yang sudah bermaterai/dilegalisir oleh pihak pengadilan. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dua orang saksi dari pihak keluarga Penggugat yang sudah disiapkan oleh Penggugat sendiri, kemudian dua orang saksi tersebut di sumpah dihadapan Majelis Hakim. Adapun bunyi sumpah tersebut sebagai berikut “Bissmillahirahmanirahim, Wallahi, demi Allah saya akan bersumpah akan memberikan keterangan yang benar, tidak lalim”.

Dalam praktek di Pengadilan Agama, tidak mengeyampingkan dalam penggunaan alat bukti saksi, baik dari segi kedudukan maupun dari segi agama saksi sendiri atau dari lain hal. Hal ini membuktikan bahwa yang ingin dicapai oleh seorang hakim dalam mendengarkan kesaksian seorang saksi adalah materi saksi itu sendiri dan kebenarannya. Sesuai dengan ketentuan pasal 76 No. 7 Tahun 1989 yang menjelaskan bahwa kedudukan saksi dari pihak keluarga dibolehkan dalam perkara perceraian.

Dalam hal ini para hakim yang ada di pengadilan Agama Jakarta Pusat tidak menolaknya dengan pertimbangan kesaksian itu memang benar dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, artinya kita tidak menolak saksi keluarga baik itu dari pihak tergugat ataupun penggugat karena yang kita terima kesaksiannya bukan pribadinya.

Semua praktek peradilan terutama dalam perkara perceraian, sangat memerlukan saksi dari pihak keluarga, karena dalam kasus perceraian yang lebih tahu permasalahannya mayoritas dari pihak keluarga, walaupun ada beberapa dari luar pihak keluarga, akan tetapi lebih mengutamakan bahkan mewajibkan saksi dari pihak keluarga terlebih dulu, untuk dapat dihadirkan sebagai saksi oleh kedua belah pihak yang berperkara dan bukan dari pihak lain.

Keterangan saksi di Pengadilan Agama, berbeda dengan keterangan saksi di Pengadilan Negeri, keterangan saksi di Pengadilan Negeri menyangkut perkara keperdataan membolehkan saksi dari pihak luar atau siapa saja yang bersedia mejadi saksi, tentunya mereka yang mengetahui permasalahannya, sedangkan kesaksian di Pengadilan Agama, tidak bisa sembarang saksi, karena banyak permasalahan yang hanya diketahui oleh pihak yang bersangkutan (suami-istri atau lingkup keluarga) saja.

Jadi, menururt penjelasan diatas, sangat jelas bahwa keterangan saksi dari pihak keluarga dapat diterima kesaksiannya, kecuali kesaksian seorang anak terhadap perceraian kedua orang tuanya tidak dapat diterima menjadi saksi dalam persidangan.

Adapun alasan hakim melarang kesaksian seorang anak terhadap perceraian kedua orang tuanya adalah sebagai berikut:

1. Apabila kesaksian seorang anak dapat diterima dalam perkara perceraian kedua orang tuanya maka ditakutkan akan mempengaruhi fisikologis atau kejiwaan dari si anak, karena dengan posisinya menjadi saksi maka seorang anak akan menjadi trouma karena melihat perselisihan yang berujung kepada sebuah perpisahan yang akan memisahkan kedua orangtuanya jika nantinya sampai bercerai.

2. Apabila kesaksian seorang anak dapat diterima dalam perkara perceraian kedua orang tuanya maka dikhawatirkan seorang anak akan memihak antar kedua belah pihak baik ibu atau ayahnya, dan bisa saja memicu permusuhan antara anak dengan ayahnya atau ibunya, jika sudah terjadi permusuhan maka hal ini sangat tidak wajar dan agama pun melarang jika permusuhan terjadi dalam sebuah keluarga

Saksi pertama bernama Elis umur 46 tahun, beragama Islam, seorang ibu rumah tangga, dan hubungan dengan Penggugat sebagai Adik Kandung penggugat. Dalam kesaksiannya dia memberikan keterangan; benar bahwa fera ini mempunyai suami bernama budi, menikah pada tahun 2001, budi seorang pegawai negeri sipil di kelurahan, mempunyai seorang anak bernama Dewi Sekar, setelah menikah tinggal bersama di rumah mertua Fera, kemudian pindah lagi ke Pamulang, sekarang Fera tinggal di rumah orang tuanya, benar bahwa pertama kali berkeluarga baik-baik saja, pada saat cekcok pertama, Fera pulang ke rumah orang tuanya Fera, ketika tinggal di pamulang pun Fera sering kabur-kaburan sering pulang ke rumah orang tuanya, karena sering cekcok, dan sudah dua bulanan tidak satu rumah lagi bersama Budi (Tergugat), pada saat saya (saksi) ke rumah tinggal Fera bersama Budi, saya tidak mendengar langsung cekcok antara mereka, saya hanya mendengar dari Curhatan Fera saja, dan pada saat saya berkunjung kerumahnya juga, Budi (tergugat) terlihat cuek dan tidak menghargai tamu, selama 2 bulan cekcok itu Budi pernah dipanggil ke rumah orang tuanya untuk di damaikan, akan tetapi masih seperti itu, dan saya (saksi) tidak mampu lagi atau tidak yakin untuk mendamaikan mereka.

Saksi kedua selanjutnya bernama Slamet Sutikno, hubungan dengan Penggugat sebagai Kakak Ipar, dalam kesaksiannya dia menerangkan bahwa; Saya (saksi) kenal dengan Fera semenjak kecil, dia benar sudah bersuami dengan Anton, Tono panggilannya, nama aslinya adalah benar Budi Yuliartono, benar Fera sudah menikah pada tahun 2001 dan tinggal bersama orang tua Budi, selama perkawinan sudah dikarunia satu orang anak perempuan, rumah tangganya pernah rukun dalam satu rumah, sekarang Fera tinggal bersama orang tuanya dan sudah pisah selama dua tahun lebih, penyebab tidak satu rumah lagi karena akibat terjadi penghinaan saja dari pihak suami (budi) terhadap Fera seperti berkata Bego, Tolol, tidak tahu malu dll, watak Budi itu kasar dan sombong, pernah didamaaikan oleh saya setahun yang lalu dengan menasehati mereka akan tetapi tidak berhasil, saya tidak sanggup untuk mendamaikan mereka lagi karena saya tidak yakin akan berhasil dan Fera juga tidak mau lagi hidup bersama dia (budi).

Setelah pemeriksaan saksi-saksi selesai, kemudian hakim memberikan pertanyaan kepada Penggugat, apakah akan tetap pada gugatannya, Penggugatpun berkesimpulan tetap pada gugatannya, bukti-bukti, serta saksi-saksi yang diajukan. Selanjutnya hakim membacakan ulang kesimpulan Penggugat.

Kemudian Hakim Ketua mengajukan pertanyaan kepada Penggugat, apakah putusan pengadilan dibacakan sekarang akan tetapi putusannya belum jadi atau belum dibuat atau putusannya di tunda setelah jadi putusannya? Jawab Penggugat ”dibacakan sekarang”, kemudian Hakim ketuapun membacakan putusan tersebut. Dan sidang dinyatakan terbuka untuk umum, berikut bunyi putusannya:

Putusan Perkara 2455/Pdt.G/2012/PA.JP

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam persidangan ini telah menjatuhkan putusan atas Cerai Gugat yang diajukan oleh Fera Yulianti binti M. Rifai selanjutnya disebut Penggugat, melawan Budi Yuliartono bin Amir selanjutnya disebut Tergugat, pengadilan Agama tersebut telah membaca surat gugatan penggugat, telah mendengarkan keterangan Penggugat, telah memperhatikan bukti-bukti didepan persidangan, tentang duduk perkaranya dst………., tentang hukumnya dst………

MENGADILI

1. Menyatakan tergugat sudah dipanggil dengan patut di depan persidangan dan tidak hadir

2. Mengabulkan gugatan penggugat dengan Verstek

3. Menjatuhkan talak satu ba’in kubra Tergugat Budi Yuliartono bin Amir Kerpada Penggugat Fera Yulianti binti M. Rifai

4. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk meyampaikan salinan putusan ini setelah mempunyai kekuatan hokum tetap kepada KUA yang bersangkutan

5. Membebankan Penggugat untuk membayar biaya perkara

Demikian putusan ini ditetapkan didepan majelis, yang dihadiri oleh para pengunjung dan terbuka untuk umum yang dihadiri oleh penggugat tanpa hadirnya Tergugat.

Itulah putusan yang ditetapkan oleh Hakim Ketua di dalam persidangan terbuka untuk umum, dan akan disampaikan kepad Budi di tempat tinggalnya, setelah 14 hari putusan ini di terima oleh Budi dan tidak ada upaya hokum (upaya hokum perlawanan terhadap putusan Verstek yakni Verzet), maka putusan ini berkekuatan hokum tetap dan Penggugat bisa mengambil Akta Cerai di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ini.

Kalau kita cermati, hokum acara yang digunakan oleh Hakim sudah berjalan sebagaimana aturan yang berlaku, mulai dari pendaftaran sampai pemeriksaan dipersidangan. Mengingat begitu pentingnya proses pemeriksaan dalam setiap perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama maka dapat diketahui proses pemeriksaan di Peradilan Agama adalah sebagai berikut: Penetapan Majelis Hakim, Penunjukan Panitera Sidang, Penetapan Hari Sidang, Pemanggilan Para Pihak, Pelaksanaan Persidangan, serta Pelaksanaan Putusan.

Pelaksanaan proses perkara yang benar dan sesuai prosedur akan memudahkan proses berperkara dari awal hingga pelaksanaan putusan yang menjadikan pelaksanaan hokum yang benar dan sesuai dengan aturan. Hal ini sebagaimana yang telah di praktekan oleh Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam Mememeriksa dan Mengadili perkara Cerai Gugat antara Fera Yulianti melawan Budi Yuliartono, dan sampai putusan dibacakan proses pemeriksaan berjalan dengan baik dan lancer tanpa hambatan.

F. Penutup

Demikianlah laporan pengamatan dalam mengikuti persidangan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, yang kelompok kami lakukan pada tanggal 11 dan 12 Juni 2012, dengan berjumlah 9 orang. Laporan ini saya buat dengan tujuan untuk mengambarkan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam mempraktekan hokum acara yang berlaku dalam rangka mempertahankan hokum materil itu sendiri, arena tujuan dari hokum formil itu sendiri adalah untuk mempertahankan dan menjalankan hokum materil itu sendiri, setelah mengikuti proses persidangan, saya memberikan apresiasi bahwa Pengadilan Agama Jakarta Pusat telah melaksanakan dan menerapkan Hukum Formil sebagaimana mestinya, hal ini sangat mendukung Pelaksanaan proses perkara dalam memudahkan proses berperkara dari awal hingga pelaksanaan putusan yang menjadikan pelaksanaan hokum yang benar dan sesuai dengan aturan. Semoga laporan ini ada manfaatnya khususnya bagisaya, umumnya bagi kita semua yang peduli terhadap pengadilan Agama.

G. Saran

Pengadilan merupakan wadah atau tempat orang mencari keadilan, sama halnya dengna Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang berorientasi memberikan keadilan hanya untuk masyarakat yang berdomisili dalam wilayah Jakarta Pusat. Dalam aplikasi tugasnya sebagai staf atau karyawan lainnya berikut seorang hakim agar lebih professional dalam tugasnya penulis mengharapkan agar tata tertib sebagai pegawai harus dijunjung tinggi karena setiap orang yang berperkara akan melihat kedisiplinan seorang pegawai. Seorang hakim harus memberikan keputusan yang seadil-adilnya karena itu merupakan kewajiban seorang hakim

Untuk lebih memotivasi pekerjaan sebaiknya fasilitas yang kurang atau yang tidak dipakai harus segera diganti dengan yang baru atau yang lebih layak dipakai, supaya para pegawai lebih semangat dalam mengurus pekerjaannya.


[1] Data dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat (www.pa-jakartapusat.go.id)

[2] A. Mukti Arto, Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996), hlm.1

[3] Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Tentang Perubahan terakhir atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| All Rights Reserved - Designed by Colorlib