BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pertumbuhan Badan Hukum Yayasan cukup pesat dalam masyarakat
Indonesia. Keberadaan yayasan pada dasarnya merupakan pemenuhan kebutuhan bagi
masyarakat yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan
sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Dengan adanya yayasan, maka segala keinginan
sosial, keagamaan dan kemanusiaan itu dapat diwujudkan di dalam suatu lembaga
yang telah diakui dan diterima keberadaannya. Bahkan ada pendapat mengatakan
bahwa yayasan merupakan nirlaba, artinya tujuannya bukan mencari keuntungan,
melainkan melaksanakan sesuatu yang bersifat amal.
Istilah yayasan bukan merupakan istilah yang asing, sudah lama
yayasan hadir sebagai salah satu organisasi atau badan yang melakukan kegiatan
dalam bidang kemanusian, sosial, dan keagamaan. Berdasarkan latar belakang
tersebut, dalam makalah ini akan mengupas mengenai Yayasan itu dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
dapat di rumuskan perumusan malahah sebagai berikut :
1.
Apa
yang menjadi dasar hukum yayasan?
2.
Apa
tujuan dan kegiatan usaha yayasan?
3.
Bagaimana
tata cara pendirian yayasan dan penyesuaian anggaran dasar ?
4.
Bagaimana
tanggung jawab pengurus dalam kegiatan yayasan?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan tujuan diatas, tujuan
penulisan ini sebagai berikut :
5.
Mengetahui
apa yang menjadi dasar hukum yayasan.
6.
Mengetahui
tujuan dan kegiatan usaha yayasan.
7.
Mengetahui
bagaimana tata cara pendirian yayasan dan penyesuaian anggaran dasar.
8.
Mengetahui
bagaimana tanggung jawab pengurus dalam kegiatan yayasan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dasar Hukum Yayasan
1.
Sejarah Perundang – Undangan Yayasan.
Sebelum lahirnya Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan, kedudukan Yayasan sebagai Badan Hukum (rechtspersoon) sudah diakui,
dan diberlakukan sebagai badan hukum, namun status yayasan sebagai Badan Hukum
dipandang masih lemah, karena tunduk pada aturan – aturan yang bersumber dari
kebiasaan dalam masyarakat atau yurisprudensi.
Pada saat itu masyarakat mendirikan yayasan dengan maksud untuk
berlindung dibalik status Badan Hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan
sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, melainkan
juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para Pendiri, Pengurus, dan
Pengawas. Pada hal peranan yayasan di sektor sosial, pendididkan, dan agama
sangat menonjol, tetapi tidak ada satu Undang – Undang pun yang mengatur secara
khusus tentang yayasan.
Yayasan, dalam bahasa Belanda disebut Stichting, dalam KUHPerdata
yang berlaku di Indonesia tidak terdapat pengaturannya. Istilah yayasan dapat
dijumpai dalam beberapa ketentuan KUHPerdata antara lain dalam Pasal 365, Pasal
899, Pasal 900 dan Pasal 1680 .[1]
Dengan ketidak pastian hukum ini yayasan sering digunakan untuk
menampung kekayaan para pendiri atau pihak lain, bahkan yayasan dijadikan
tempat untuk memperkaya para pengelola yayasan. Yayasan tidak lagi bersifat
nirlaba, namun yayasan digunakan untuk usaha – usaha bisnis dan komersial
dengan segala aspek manifestasinya.
Dengan ketiadaan peraturan yang jelas ini, maka semakin berkembang
dan bertumbuhanlah yayasan – yayasan di Indonesia dengan cepat, pertumbuhan ini
tidak diimbangi dengan pertumbuhan Undang - Undang yang mengatur bagi yayasan
itu sendiri, sehingga masing – masing pihak yang berkepentingan menafsirkan
pengertian yayasan secara sendiri – sendiri sesuai dengan kebutuhan dan tujuan
mereka.
Dalam rangka menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan
berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan
dan akuntabilitas kepada masyarakat, maka pada tanggal 6 Agustus 2001 disahkan
Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang mulai berlaku 1 (satu)
tahun kemudian terhitung sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 6 Agustus
2002. Kemudian pada tanggal 6 Oktober 2004 melalui Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 disahkannya Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
perubahan Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Cepatnya
perubahan atas Undang – Undang yang mengatur tentang Yayasan ini menunjukkan
bahwa masalah yayasan tidak sederhana dan badan hukum ini memang diperlukan
oleh masyarakat.
Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004 ini tidak mengganti Undang –
Undang Nomor 16 Tahun 2001. Perubahan ini hanya sekedar mengubah sebagian Pasal
– Pasal dari Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001. Jadi Undang – Undang Nomor 28
Tahun 2004 tidak mengubah seluruh Pasal yang ada didalam Undang – Undang Nomor
16 Tahun 2001.
Undang – undang ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang
benar kepada masyarakat mengenai yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban
hukum serta mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka
mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan berdasarkan
prinsip keterbukaaan dan akuntabilitas.. Undang – Undang ini menegaskan bahwa
yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat
sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan
formal yang ditentukan dalam undang – undang ini dan diharapkan akan menjadi
dasar hukum yang kuat dalam mengatur kehidupan yayasan.
2.
Badan
Hukum Yayasan
Sebelum Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang – Undang
Nomor 28 Tahun 2004 ada, tidak ada yang mengatur tentang badan hukum yayasan, hanya
dalam beberapa Pasal pada KUHPerdata yang menyinggung adanya lembaga yayasan
seperti Pasal 365, Pasal 899, Pasal 900, Pasal 1680 KUHPerdata.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia istilah Yayasan adalah badan
atau organisasi yang bergerak dibidang sosial, keagamaan dan pendidikan yang
bertujuan tidak mencari keuntungan
Yayasan dalam Bahasa Belanda disebut dengan Stichting, adalah suatu
badan hukum yang berbeda dengan badan hukum perkumpulan atau Perseroan
Terbatas, dimana dalam yayasan tidak mempunyai anggota atau persero, yayasan
adalah badan hukum tanpa diperlukan campur tangan pemerintah.
Menurut Soebekti pengertian badan hukum yaitu suatu badan atau
perkumpulan yang dapat memiliki hak – hak dan melakukan perbuatan seperti
menerima serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat, dan menggugat di muka
hakim.[2]
Menurut Teori Fiksi yang dipelopori oleh Sarjana Von Savigny, bahwa
hanya manusia saja yang mempunyai kehendak. Menurut alam manusia selalu subjek
hukum, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya badan hukum selalu subjek
hukum diperhitungkan sama dengan manusia, jadi orang bersikap seolah – olah ada
subjek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan
perbuatan – perbuatan sehingga yang melakukan adalah manusia sebagai wakilnya.
Selanjutnya dikemukakan bahwa badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan
suatu hal yang kongkrit, jadi karena suatu abstraksi maka tidak mungkin menjadi
suatu subjek dari hubungan hukum sebab hukum memberi hak – hak kepada yang
bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa. Badan hukum
semata – mata hanya buatan pemerintah atau negara. Kecuali negara badan hukum
itu fiksi yakni suatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya
dalam bayangan untuk menerangkan sesuatu hal.
Menurut Scholten, yayasan adalah badan hukum yang mempunyai harta
kekayaan sendiri yang bersal dari suatu perbuatan pemisahan, mempunyai tujuan
tertentu,dan mempunyai organ yayasan.[3]
Menurutnya yayasan adalah badan hukum yang memenuhi unsur – unsur :
a)
Mempunyai
harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu perbuatan hukum pemisahan.
b)
Mempunyai
tujuan sendiri (tertentu)
c)
Mempunyai
alat perlengkapan (organisasi)
Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung sebagaimana termaktup dalam
Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1973 Nomor 124K/Sip/1973.[4]
Dalam putusannya tersebut Mahkamah Agung telah membenarkan putusan judex factie
sebagai berikut :
a)
Bahwa
Yayasan Dana Pensiun H.M.B, didirikan di Jakarta dengan nama “ Stichting
Pensiunfonds H.M.B, Indonesie” dan bertujuan untuk menjamin keuangan para
anggotanya.
b)
Bahwa
para anggotanya ialah pegawai NV.H.M.B
c)
Bahwa
yayasan tersebut mempunyai pengurus sendiri terlepas dari NV.H.M.B, dimana
ketua dan bendahara dipilih oleh Direksi NV.H.M.B.
d)
Bahwa
pengurus yayasan tersebut mewakili yayasan didalam dan di luar pengadilan.
e)
Bahwa
yayasan tersebut mempunyai harta sendiri, antara lain harta benda hibah dari
NV.H.M.B (akte hibah).
f)
Bahwa
dengan demikian yayasan tersebut merupakan suatu badan hukum
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung ini maka kedudukan yayasan
sebagai badan hukum telah mempunyai kepastian hukum dalam hukum di Indonesia.
Sebelum Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, status badan hukum
yayasan tidak memberikan kepastian hukum apakah yayasan tersebut merupakan
badan hukum atau bukan badan hukum sehingga dalam masyarakat terdapat
penafsiran bahwa yayasan merupakan badan hukum atau penafsiran yayasan bukan
badan hukum. Berdasarkan Yurisprudensi tersebut diatas sudah jelas bahwa
yayasan merupakan badan hukum, tetapi yang belum jelas adalah bagaimana tata
cara menurut hukum yang harus dipenuhi oleh yayasan untuk mendirikan yayasan
dan bagaimana cara memperoleh status badan hukum tersebut.
Kebiasaan selama ini yayasan yang didirikan oleh swasta atau
perorangan biasanya dilakukan dengan akta notaris. Kekayaan yang dipisahkan
dari milik para pendiri atau pengurus yayasan yang bersangkutan. Kebiasaan yang
terjadi akta notaris tersebut tidak didaftarkan atau didaftarkan di kantor
Pengadilan Negeri setempat.
Kedudukan yayasan pada Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo
Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004 telah menegaskan bahwa yayasan adalah
sebagai Badan Hukum. Pasal 1 angka (1) Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2001 dengan
tegas menyatakan bahwa yayasan adalah suatu badan hukum yang terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu dibadang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Dengan adanya
ketentuan tertulis ini telah secara jelas menyatakan Yayasan adalah badan hukum
Jika kita melihat pasal 1 angka (1) Undang – Undang Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan, yayasan mempunyai unsur – unsur sebagai berikut bahwa
yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas harta kekayaan yang dipisahkan
dari kekayaan pendirinya, tidak mempunyai anggota dimana yayasan mempunyai
kekayaan sendiri. Harta kekayaan itu digunakan untuk kepentingan tujuan yayasan
dibidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Dalam Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang yayasan
disebutkan bahwa pendiri yayasan bukanlah pemilik yayasan. Pendiri yayasan
telah memisahkan kekayaaannya untuk menjadi milik yayasan, sehingga pendiri
tidak terikat lagi dan tidak lagi memiliki hak atas kekayaan yang telah menjadi
milik yayasan itu.
Kekayaan dan hasil kegiatan usaha yayasan tidak boleh dialihkan dan
dibagikan kepada organ yayasan.[5] Jadi
disini menjelaskan juga bahwa organ yayasan bukan pemilik yayasan. Jadi
kekayaan tersebut harus dipakai untuk mewujudkan tujuan yayasan. Dimana tujuan
yayasan itu sendiri diarahkan untuk kepentingan masyarakat, sehingga dapat
dikatakan bahwa masyarkatlah pemilik yayasan.
Untuk mendapatkan status badan hukum yayasan maka memerlukan suatu
proses yaitu diperolehnya pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia[6]
dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.[7]
Dengan dilaksanakan pengesahan dari Menteri Hukum Dan Hak Azasi Manusia maka
resmilah yayasan sebagai Badan Hukum karena ini merupakan sayarat mutlak
yayasan untuk diakui sebagai badan hukum.
Fungsi pengesahan ini adalah untuk keabsahan keberadaan badan hukum
sehingga badan hukum itu tidak bertentangan dengan Perundang – Undangan yang
ada, kebenaran isi akta pendirian termasuk permodalan, hal ini dimaksudkan agar
tidak ada penipuan.
Dari keterangan diatas jelas terlihat bahwa yayasan menjadi badan
hukum karena paksaan dari negara yaitu seperti terlihat pada Undang – Undang
pada Pasal 1 angka (1) Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang mengatakan
bahwa Yayasan adalah badan hukum, hal ini sesuai apa yang dikemukakan oleh
tiori fiksi yang dipelopori oleh Von Savigni yang mengatakan bahwa badan hukum
adalah semata – mata buatan negara. Jadi tanpa diatur oleh negara yayasan ini
tidak berbadan hukum.
B.
Tujuan Dan Kegiatan Usaha Yayasan
Yayasan adalah kumpulan dari sejumlah orang yang terorganisasi dan
dilihat dari segi kegiatannya, lebih tampak sebagai lembaga sosial. Dari sejak
awal, sebuah yayasan didirikan bukan untuk tujuan komersial atau untuk mencari
keuntungan, akan tetapi tujuannya tidak lebih dari membantu atau meningkatkan
kesejahteraan hidup orang lain.
Keberadaan yayasan merupakan
suatu kebutuhan bagi masyarakat, yang menginginkan adanya wadah atau lembaga
yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Dengan adanya
yayasan, maka segala keinginan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, itu
diwujudkan di dalam suatu lembaga yang diakui dan diterima keberadaannya.[8]
Keberadaan Yayasan sebelum berlakunya Undang – Undang Nomor 16
Tahun 2001 jo Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, menimbulkan
berbagai kontroversi sebab yayasan yang pada dasarnya bertujuan untuk
kepentingan masyarakat, seringkali justru dijadikan wadah melakukan perbuatan
melanggar hukum. Yayasan yang demikian, umumnya telah menyimpang dari maksud
dan tujuan yang telah ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya. Usaha yang semula
difokuskan pada usaha yang bersifat sosial dan kemanusiaan itu dibelokkan
arahnya sehingga kepentingan individulah yang diprioritaskan. Selain itu,
beberapa yayasan melakukan usaha layaknya badan usaha yang bertujuan mengejar
keuntungan. Dengan mengejar keuntungan, Yayasan itu umumnya tidak segan untuk
melakukan tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan kepentingan umum.
Dengan bergesernya fungsi yayasan menjadi suatu badan usaha
mengakibatkan tujuan aslinya menjadi kabur, salah arah, dan hampir – hampir
tidak terkendali. Tampak disini yayasan digunakan untuk menjalankan usaha
bisnis dan komersial dengan segala aspek manifestasinya.
Dengan ketiadaan peraturan yang jelas ini, maka semakin berkembang
dan bertumbuhanlah yayasan – yayasan di Indonesia dengan cepat, pertumbuhan
mana tidak diimbangi dengan pertumbuhan peraturan dan pranata yang memadai bagi
yayasan itu sendiri, sehingga masing – masing pihak yang berkepentingan
menafsirkan pengertian yayasan secara sendiri – sendiri sesuai dengan kebutuhan
dan tujuan mereka.
Dalam rangka menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan
berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan
dan akutabilitas kepada masyarakat, maka pada tanggal 6 Agustus 2001 disahkan
Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 yang mulai berlaku sejak tanggal 6
Agustus 2002 dan diubah dengan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004, yang
diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 dan berlaku sejak tanggal 6 Oktober
2005.
Pengundangan Undang – Undang Yayasan ini dimaksudkan untuk menjamin
kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman yang benar kepada
masyarakat mengenai yayasan, sehingga dapat mengembalikan fungsi yayasan
sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu dibidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan.
Tujuan dari Undang – Undang ini, memberikan pemisahan antara peran
yayasan dan peran suatu badan usaha yang didirikan, dalam hal ini yayasan
sebagai pemegang saham dalam suatu badan usaha tersebut karena adanya
penyertaan modal maksimal 25% dari kekayaan yayasan, agar tidak terjadi
benturan kepentingan dan tumpang tindih kepentingan, terlebih bila terjadi
masalah yang timbul jika ada larangan terhadap organ yayasan.[9]
Pasal 1 angka (1) Undang –
Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Yayasan jelas menegaskan bahwa Yayasan harus bertujuan sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan.
Pada pasal 3, Pasal 7 dan Pasal 8 Undang – Undang Nomor 16 Tahun
2001 memperkenankan yayasan untuk melakukan kegiatan usaha ataupun mendirikan
suatu badan usaha. Pasal 3 ayat (1) Undang – Undang Nomor 16 tahun 2001
menyebutkan :
” Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian
maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan atau ikut serta
dalam suatu badan usaha.”
Pada Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004 ketentuan pada Pasal (3)
ini tidak diubah tetapi penjelasan pasal ini mempertegas bahwa yayasan tidak
dapat digunakan sebagai wadah usaha. Dengan perkataan lain yayasan tidak dapat
langsung melakukan kegiatan usaha, tetapi harus melalui badan usaha yang
didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana yayasan mengikut sertakan
kekayaannya.
Pada Pasal 7 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 menyebutkan bahwa
: “Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud
dan tujuan yayasan.”
Dari pasal diatas dapat disimpulkan bahwa yayasan harus bertujuan
sosial, keagamaan dan kemanusiaan, dimana yayasan boleh melakukan kegiatan
usaha asalkan laba yang diperoleh dari hasil usaha tersebut dipergunakan dan
diperuntukkan untuk tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Usaha yang
memperoleh laba ini diperlukan agar yayasan tidak tergantung selamanya pada
bantuan dan sumbangan pihak lain.[10]
Pasal 8 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 200 jo Undang – Undang Nomor
28 Tahun 2004 menyebutkan bahwa : ”Kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan
serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan
perundang – undangan yang berlaku.”
Dalam penjelasan Pasal 8 ini, dijelaskan bahwa cakupan kegiatan
usaha yayasan menyangkut Hak Azasi Manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen,
pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan. Dari penjelasan
itu, kita dapat menyatakan bahwa tujuan dari sebuah yayasan adalah meningkatkan
derajat hidup orang banyak atau mensejahterakan masyarakat. Mengentaskan kemiskinan,
memajukan kesehatan, dan memajukan pendidikan merupakan kegiatan usaha yang
harus menjadi prioritas bagi yayasan.
Semua tujuan yayasan diharapkan berakhir pada aspek kepentingan
umum/ kemanfaatan publik sebagaimana maksud dan tujuan yayasan yang seharusnya.
Sebagai perbandingan di Inggris difinisi dari tujuan sosial,
keagamaan dan kemanusiaan ini, sering kali dikaitkan dengan pengertian charity
atau sosial Di Inggris dalam Charitable Uses Acts of 1601 mengemukakan ada 4
klasifikasi dari Charity yaitu mengatasi kemiskinan (The Relief Of Poverty),
memajukan pendidikan (The Advancement of Education), memajukan agama (The
Advancement Of religion), dan tujuan – tujuan lain untuk kepentingan umum (And
Other Purpose of Beneficial to The Community).
Pada klasifikasi diatas mencakup aspek kepentingan umum atau
kemanfaatan bagi publik umumnya. Jadi, suatu sumbangan atau kegiatan bersifat
charitable ( sosial ) dan kemanusiaan bila ia bermanfaat untuk masyarakat pada
umumnya.
Yayasan tujuannya bersifar sosial, keagamaan dan kemanusiaan,namun
Undang – Undang tidak melarang yayasan untuk menjalankan kegiatan usaha.namun
tidak semata – mata untuk mencari laba, seperti yayasan yang mengusahakan poliklinik
atau rumah sakit. Undang – Undang menghendaki rumah sakit atau poliklinik
berbentuk yayasan, namun jika dilihat dari kegiatan usahanya, rumah sakit atau
poliklinik ditujukan juga untuk mencari laba, namun tujuan yayasan itu bersifat
sosial dan kemanusiaan. Jadi disini rumah sakit tidak dapat dikatagorikan untuk
mencari keuntungan tetapi bertujuan untul sesuatu yang idiil atau filantropis
atau amal walaupun tidak mustahil yayasan itu mendapat keuntungan.
Yayasan sebagai philantropis adalah suatu kegiatan yang diminati
menuju kesejahteraan masyarakat. Arti dari philantropis itu adalah kedermawanan
sosial, yang dijalankan dalam kerangka kesadaran dan kesepakatan perusahaan
dalam menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan.[11] Contoh
lain dalam pencapaian nilai philantropis pada yayasan adalah melalui yayasan
yang dirikan oleh perusahaan atau group perusahaan. untuk pencapaian program
Corporate Social Responcibility (CSR). Perusahaanlah yang menyediakan modal
awal, dana rutin atau dana abadi pada yayasan yang didirikannya. Yayasan ini
lah yang menjalankan program CSR perusahaan yang terdorong untuk menolong
sesama dan memperjuangkan pemerataan sosial.
Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang – undang Nomor 16 Tahun 2001,
diterangkan bahwa kegiatan usaha yayasan penting dilakukan dalam rangka
tercapainya maksud dan tujuan yayasan. Agar yayasan bisa melakukan kegiatan
usaha, yayasan memerlukan wadah atau sarana. Untuk itu, yayasan diperbolehkan
mendirikan badan usaha supaya bisa melaksanakan kegiatan usahanya,. Bahwa
ketika mendirikan badan usaha, yayasan harus mengutamakan pendirian badan usaha
yang memenuhi hajat hidup orang banyak, misalnya badan usaha yang bergerak
dibidang penanganan Hak Azasi Manusia, kesenian, olahraga, perlindungan
konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan dapat
kita lihat bahwa disini bidang – bidang usaha tersebut selalu berorientasi pada
kepentingan publik. Di samping itu, dalam mendirikan badan usaha tersebut organ
yayasan perlu mempertimbangkan beberapa hal berikut yaitu : badan usaha
tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, badan usaha tidak
melanggar kesusilaan, badan usaha itu tidak melanggar aturan dan ketentuan yang
berlaku pada Pasal 8 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001.
C.
Tata Cara Pendirian Yayasan Dan Penyesuaian Anggaran Dasar
Sebelum berlakunya Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang –
Undang Nomor 28 Tahun 2004, belum ada keseragaman tentang cara mendirikan
yayasan. Pendirian yayasan hanya didasarkan pada kebiasaan dalam masyarakat,
kerena belum ada peraturan Undang – Undang yang mengatur tentang cara mendirikan
yayasan.
Di dalam hukum perdata, pembentukan yayasan terjadi dengan surat
pengakuan (akta) diantara para pendirinya, atau dengan surat hibah/wasiat yang
dibuat dihadapan notaris. Dalam surat – surat itu ditentukan maksud dan tujuan,
nama, susunan dan badan pengurus, juga adanya kekayaan yang mewujudkan yayasan
tersebut.[12]
Sehingga Pendirian suatu yayasan di dalam hukum perdata disyaratkan dalam dua
aspek yaitu:
a)
Aspek
material
·
harus
ada suatu pemisahan kekayaan
·
suatu
tujuan yang jelas
·
ada
organisasi ( nama,susunan dan badan pengurus)
b)
aspek
formal, pendirian yayasan dengan akta otentik[13]
Pada saat sebelum Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang –
Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan berlaku, umumnya yayasan didirikan
selalu dengan akta notaris, baik yayasan yang didirikan oleh pihak swasta atau
oleh pemerintah. Yayasan yang didirikan oleh badan – badan pemerintah dilakukan
dengan suatu surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk itu atau dengan
akta notaris sebagai syarat terbentuknya suatu yayasan. Namun para pengurus
dari yayasan tersebut tidak diwajibkan untuk mendaftarkan dan mengumumkan akta
pendiriannya, juga pengesahan yayasan sebagai badan hukum ke Menteri Kehakiman
pada saat itu. Ketiadaan aturan ini menimbulkan ketidak seragaman di dalam
pendirian yayasan.
Hal inilah yang menyebabkan masih banyaknya yayasan yang belum
didaftarkan sebagai badan hukum karena tidak ada aturan hukum yang memaksa pada
saat sebelum Undang – Undang Yayasan ada di Indonesia.
Setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang –
Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, maka suatu yayasan dapat didirikan dengan
tata cara yang telah ditetapkan oleh Undang – Undang. Ada tiga proses yang
perlu diperhatikan dalam pendirian yayasan yaitu :
1.
Proses
Pendirian Yayasan
Di dalam Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang – Undang
Nomor 28 Tahun 2004 telah dicantumkan dengan jelas syarat untuk didirikan
yayasan yaitu :
ü Didirikan oleh 1 (satu) orang atau lebih.
ü Ada kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendirinya.
ü Harus dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam Bahasa
Indonesia
ü Harus memperoleh pengesahan menteri.
ü Diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
ü Tidak boleh memakai nama yang telah dipakai secara sah oleh yayasan
lain, atau bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
ü Nama yayasan harus didahului dengan kata yayasan.
Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan disebutkan, yayasan dapat didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan
harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal. Yang dmaksud dengan ”orang”
pada Pasal ini adalah orang perseorangan dan badan hukum. Berarti yayasan hanya
bisa didirikan oleh orang perseorangan saja atau boleh badan hukum saja.
Makna dari memisahkan harta kekayaan pendirinya menunjukkan bahwa
pendiri bukanlah pemilik yayasan karena telah sejak awal semula memisahkan
sebagian dari kekayan pendirinya menjadi milik yayasan. Yayasan sebagai badan
hukum harus memiliki kekayaan sendiri, karena kekayaan yayasan digunakan untuk
kepentingan tujuan yayasan dibadang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Hal ini
yang harus menjadi perhatian dari pendiri yayasan. Pendiri yayasan ketika
mendirikan yayasan sudah memisahkan harta kekayaannya, untuk dijadikan kekayaan
awal yayasan. Oleh karena itu orang yang akan mendirikan yayasan harus memiliki
kekayaan yang cukup, dan kekayaan itu harus dipisahkan. Dengan memisahkan
kekayaannya tersebut dan kemudian mendirikan yayasan, maka harta tersebut sudah
beralih menjadi milik yayasan. Hal ini merupakan alasan untuk berpendapat bahwa
yayasan adalah milik masyarakat.
Yang dapat mendirikan yayasan bukan hanya semata – mata orang
melainkan juga badan hukum. Pasal 9 ayat (5) Undang – Undang Nomor 16 Tahun
2001 dimungkinkan orang asing untuk mendirikan yayasan di Indonesia. Orang
asing tersebut dapat mendirikan sendiri atau secara bersama sama dalam arti
sesama orang asing atau bersama – sama dengan orang Indonesia. Dengan demikian
dapat diartikan bahwa suatu yayasan dapat didirikan oleh :
a.
Satu orang yaitu orang Indonesia (Warga Negara
Indnesia), orang Asing (Warga Negara Asing)
b.
Lebih
dari satu orang yaitu orang Indonesia (Warga Negara Indonesia), orang Asing
(Warga Negara Asing), orang Indonesia beserta orang asing (Warga Negara
Indonesia bersama – sama Warga Negara Asing)
c.
Satu
badan hukum yaitu Badan Hukum Indonesia, Badan Hukum Asing
d.
Lebih
dari satu badan hukum yaitu badan – badan hukum Indonesai, badan – badan hukum
asing, badan hukum Indonesia bersama – sama badan hukum asing.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yayasan tersebut dapat
didrikan oleh satu orang/badan hukum dan atau lebih dari satu orang/badan
hukum, maka dapat dikatakan bahwa yayasan dapat didirikan oleh satu orang dan
atau beberapa orang atau satu badan hukum atau beberapa badan hukum.
Selain pendirian yayasan dilakukan dengan kehendak seseorang, dalam
Pasal 9 ayat (3) Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur juga tentang
pendirian yayasan yang dilakukan berdasarkan surat wasiat. Hal ini dapat
terjadi jika seseoarang menerima surat wasiat yang isinya adalah mengenai
pendirian suatu yayasan. Dimana isi dari surat wasiat tersebut tentang
pendirian yayasan, dan dicantumkan mengenai harta peninggalan yang dapat
dijadikan kekayaan awal yayasan.
Hal ini menjadi kewajiban bagi si penerima wasiat untuk
melaksanakan wasiat mendirikan Yayasan. Dimana sipenerima wasiat mewakili
pemberi wasiat. Dalam hubungan ini, bila penerima wasiat atau ahli waris tidak
melaksanakan maksud pemberi wasiat untuk mendirikan Yayasan, atas permintaan
pihak yang berkepentingan, pengadilan dapat memerintahkan ahli waris atau
penerima wasiat untuk melaksanakan wasiat tersebut. Ini dapat kita lihat pada
Pasal 10 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Selanjutnya dalam mendirikan Yayasan adalah akta pendirinya
dituangkan dalam akta notaris seperti tertera pada Pasal 9 ayat (2) Undang –
Undang Nomor 16 Tahun 2001 Pendiri Yayasan harus datang menghadap ke notaris
untuk membuat Akta Pendirian Yayasan. Akta Pendirian harus dibuat dalam bahasa
Indonesia. Walaupun yang mendirikan yayasan itu orang asing, akta pendiriannya
tetap menggunakan bahasa Indonesia. Tidak boleh dengan bahasa Inggris atau
bahasa asing lainnya. Hal ini berarti tanpa adanya akta notaris, maka pendirian
yayasan tidak pernah ada.
Namun pada Pasal 10 ayat (1) Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan mengatakan bahwa dalam pembuatan Akta Pendirian Yayasan,
pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa. Pemberian kuasa
ini dimaksudkan bahwa pendiri boleh tidak hadir dengan diwakilkan kepada orang
lain dengan membuat dan memberika surat kuasa yang sah. dan dalam surat kuasa
harus disebutkan dengan tegas bahwa orang yang mewakili pendiri diberi kuasa
untuk menghadap notaris dengan kepentingan membuat akta pendirian Yayasan.
Hal ini dibenarkan oleh hukum, sebab perbuatan hukum dalam hal ini
pendirian yayasan merupakan perbuatan hukum dibidang perdata, sehingga
pemberian kuasa dalam melakukan pendirian diperbolehkan, meskipun sebenarnya
undang – undang tidak mengisyaratkan bentuk pemberian kuasa, namun sebalikanya
pemberian kuasa tersebut dibuat secara tertulis.
Isi dari akta pendirian itu adalah Anggaran Dasar Yayasan seperti
ternyata dalam Pasal 14 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Sedangkan jumlah minimum harta kekayaan awal yayasan yang dipisahkan dari
kekayaan pribadi Pendiri paling sedikit senilai Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah), ini diatur pada Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008
Tentang Pelaksanaan Undang – Undang Tentang Yayasan.
Setelah akta dibuat dan ditandatangani dihadapan Notaris tahap
berikutnya adalah mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri Hukum Dan Hak
Azasi Manusia. Pengesahan tersebut bertujuan agar yayasan memperoleh status
badan hukum.
2.
Proses
Pengesahan Akta Pendirian Yayasan
Pengesahan akta Pendirian sebelum Undang – Undang Nomor 16 Tahun
2001 jo Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004, tidak ada aturan yang mewajibkan
yayasan melakukan pengesahan akta pendiriannya kepada Menteri Kehakiman pada
saat itu untuk memperoleh status badan hukum yayasan. Akibatnya banyak yayasan
tidak mengesahkan akta pendirian yayasannya tersebut sehingga yayasan tersebut
belum menjadi badan hukum. Syarat mutlak untuk diakui sebagai badan hukum,
yayasan harus mendapat pengesahan dari pemerintah dalam hal ini diwakili oleh
Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia.
Namun setelah Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang –
Undang Nomor 28 Tahun 2004 maka pembuatan akta pendirian yayasan dihadapan notaris
harus mendapat pengesahan yang dilakukan oleh Menteri Hukum Dan Hak Azasi
Manusia guna memperoleh status badan hukum.
Pengesahan akta pendirian ini merupakan kewajiban hukum bagi
pendiri yayasan. Tanpa ada pengesahan, bukan sebuah lembaga yayasan namanya. Karena
yang disebut yayasan, sesuai dengan pengertian Undang – Undang Yayasan, adalah
mutlak badan hukum. Oleh karena itu, tidak ada alasan sama sekali bagi pendiri
untuk tidak mengajukan permohonan pengesahan akta pendirian kepada menteri
karena segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus atas nama yayasan
sebelum yayasan memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab pengurus
secara tanggung renteng.
Adapun prosedur pengesahan akta pendirian yayasan ini telah diatur
pada Pasal 11 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang isi pasal tersebut telah
mengalami perubahan pada Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2008. Jika pada Undang
– Undang Nomor 16 Tahun 2001 permohonan dapat dilakukan oleh pendiri atau
kuasanya langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak
Azasi Manusia atas nama menteri di wilayah kerjanya tempat kedudukan yayasan,
maka pada Pasal 11 ayat (2) Undang – Undang Yayasan Nomor 28 Tahun 2004 pendiri
atau kuasanya mengajukan permohonan kepada Menteri Hukum Dan Azasi Manusia
melalui notaris yang membuat akta pendirian yayasan.
Perubahan Pasal 11 (sebelas) diatas telah mempertegas bahwa
wewenang untuk mengesahkan suatu yayasan sebagai badan hukum berada di tangan
Menteri Hukum Dan Hak Azasi Manusia, dan menyatakan bahwa notaris harus
mengajukan permohonan untuk menjadi yayasan sebagai badan hukum tersebut. Hal
ini disebabkan pada masa lalu banyak yayasan yang dengan sengaja tidak
mengajukan permohonan untuk menjadi badan hukum. Dengan ditetapkannya notaris
yang mengajukan permohonan kepada menteri maka ini merupakan cara negara
memaksa pendiri yayasan agar yayasan yang didirikan berstatus badan hukum.
Dengan ditetapkan oleh undang – undang seorang notaris menjadi
terikat untuk menjalankan tugas mengurusi permohonan pengesahan akta pendirian
yayasan yang dibuatnya kepada Menteri Hukum Dan Hak Azasi Manusia. Dalam
ketentuan Pasal 11 ayat (3) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004 menyebutkan,
bahwa notaris yang membuat akta pendirian yayasan wajib menyampaikan permohonan
pengesahan kepada menteri dalam waktu paling lambat 10 hari terhitung sejak
tanggal akta pendirian yayasan ditandatangani. Disini notaris diberi batasan
waktu maksimal 10 (sepuluh) hari setelah penandatanganan akta pendirian.
Waktu 10 (sepuluh) hari tergolong singkat, karena berpengaruh
kepada pihak pendiri yayasan, yang harus sudah siap membuat surat pemohonan
pengesahan ketika menandatangani akta tersebut. Maka dalam praktek diantara
para notaris yang berpraktek ketika pendiri yayasan menghadap untuk membuat akta
pendiri yayasan, menawarkan sekaligus satu paket dengan surat permohonan
pengesahan akta tersebut sehinggan pendiri yayasan tidak merasa repot, dan tinggal
membubuhkan tanda tangan.[14]
Permohonan yang diajukan oleh notaris kepada menteri dilakukan
secara tertulis ini juga diatur pada Pasal 12 ayat (1) Undang – Undang Nomor 28
Tahun 2004.
Setelah permohonan pengesahan diterima oleh Menteri Hukum Dan Hak
Azasi Manusia, Pasal 11 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004 mengatur bahwa
dalam memproses permohonan itu Menteri dapat meminta pertimbangan dari instansi
terkait dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak surat permohonan diterima secara
lengkap. Pengertian dari instansi terkait disini dapat dilihat dari kegiatan
yayasan dalam mencapai maksud dan tujuanya. Jika kegiatannya menyangkut bidang
kesehatan, Menteri Hukum Dan Hak Azasi Manusia dapat meminta pertimbangan
Menteri Kesehatan, jika di bidang keagamaan, dapat meminta pertimbangan kepada
Menteri Agama dan sebagainya.
Instansi terkait diwajibkan memberikan petimbangan dimaksud dalam
tempo 14 (empat belas) hari sejak tanggal permintaan pertimbangan diterima oleh
instansi tersebut. Namun meminta pertimbangan kepada instansi terkait bukan
merupakan keharusan jika menurut pertimbangan Menteri permohonan itu telah
dapat diberikan pengesahan, maka tidak perlu meminta pertimbangan dari instansi
itu.
Permohonan pengesahan akta pendirian yayasan setelah
dipertimbangkan oleh Menteri Hukum Dan Hak Azasi Manusia, terdapat dua
kemungkinan, yaitu diterima atau ditolak. Jika permohonan tersebut diterima,
maka Menteri memberikan pengesahan terhadap akta pendirian yayasan. Apabila
permohonan pengesahan ditolak maka alasan penolakan harus sesuai dengan Pasal
13 ayat (2) Undang –
Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang mengatakan bahwa
permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan Undang – Undang yang
berlaku dan peraturan pelaksanaannya
Pengesahan terhadap permohonan, diberikan atau ditolak, dilakukan
dalam jangka waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penerimaan permohonan
secara lengkap.[15]
Jika menteri dalam memproses permohonan itu meminta pertimbangan dari instansi
terkait maka pemberian atau penolakan dilakukan dalam tempo 14 (empat belas)
hari sejak tanggal jawaban atas permintaan pertimbangan tersebut diterima.
Apabila permohonan pengesahan di tolak oleh Menteri, menteri wajib
memberitahukan secara tertulis disertai dengan alasannya, kepada pemohon
mengenai penolakan pengesahan akta pendirian yayasan tersebut.[16]
Alasan penolakan permohonan pengesahan adalah bahwa permohonan yang diajukan
tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang – Undang dan atau Peraturan
Pelaksananya. Meski telah diatur demikian, namun belum ada kepastian hukum jika
dalam waktu yang telah ditentukan yaitu 30 (tiga puluh) hari belum diterima permohonan
itu secara lengkap Menteri belum memberikan jawaban. Sehingga ini menimbulkan
tidak adanya kepastian hukum, seharusnya ada pengaturan, bahwa jika seandainya
dalam jangka waktu tersebut Menteri tidak memberikan jawaban tentang diterima
atau tidaknya permohonan pengesahan itu, maka permohonan pengesahan itu
dianggap telah diterima oleh Menteri.[17]
Dalam Undang – Undang ini terlihat bahwa pada saat pemberitahuan
penolakan tanpa diketahui oleh notaris yang membuat akta pendirian. Suatu
permohonan pengesahan akta pendirian diajukan melalui notaris, setelah
mendapatkan keputusan dari Menteri Hukum Dan Hak Azasi Manusia tidak lagi
melalui notaris. Apakah sudah mendapat surat pemberitahuan dari menteri atau
belum, notaris yang pernah mengirim surat permohonan itu tidak tahu.[18]
Demikian juga jika permohonan yayasan tersebut untuk menjadi badan hukum
diterima, Menteri juga langsung memberitahukan secara tertulis kepada pemohon,
tidak lagi melalui notaris yang membuat akta penderiannya.
3.
Proses
Pengumuman Yayasan Sebagai Badan Hukum
Proses pengumuman yayasan sebagai badan hukum pada saat sebelum
adanya Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang – Undang Nomor 28 Tahun
2004, dilakukan oleh pengurus yayasan, namun belum ada aturan – aturan yang
memaksa untuk mengumumkan yayasan tersebut sebagai badan hukum. Sehingga
masyarakat tidak dapat mengetahui kegaitan apa yang dilakukan oleh yayasan
tersebut. Yayasan tidak bersifat transparan pada saat itu.
Dalam ketentuan Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang – Undang
Nomor 28 Tahun 2004, pengumuman dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Azasi
Manusia, bukan lagi dilakukan oleh pengurus yayasan. Hal ini dikarenakan pada
masa lalu banyak yayasan yang dengan sengaja tidak mengajukan permohonan untuk
menjadi badan hukum juga tidak melakukan pengumuman pada Lembaran Berita Negara
Republik Indonesia.
Setelah yayasan memperoleh status badan hukum, selanjutnya akta
pendirian yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia wajib
diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Maksud dan tujuan
pengumuman tersebut, agar pendirian sebuah yayasan diketahui oleh masyarakat.
Menurut Pasal 24 ayat (2) Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun
2001 menyatakan bahwa permohonan untuk diumumkan dalam Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia diajukan oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya kepada Kantor
Percetakan Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan yang disahkan atau
perubahan Anggaran Dasar yang disetujui. Namun pasal ini mengalami perubahan
bunyi pada Undang – Undang Yayasan Nomor 28 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa
pengumuman dalam tambahan berita negara tersebut dilakukan oleh menteri dalam
jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal akta
pendirian yayasan disahkan oleh menteri.
Disini dapat kita lihat bahwa waktu yang diberikan oleh undang –
undang hanya 14 (empat belas) hari karena pengumuman tersebut merupakan
kewajiban menteri maka pelaksanaan pengumuman dilakukan tanpa melalui prosedur
mengajukan permohonan pengumuman kerena pengumuman itu dilakukan secara otomatis
oleh Menteri. Sehingga tidak ada lagi kelalaian dari pengurus yayasan untuk
tidak mendaftarkan yayasannya di Tambahan Berita Negara.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang – Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan menyebutkan Anggaran Dasar yayasan harus dimuat
sekurang – kurangnya sebagai berikut :
a.
Nama
dan tempat kedudukan
b.
Maksud
dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut
c.
Jangka
waktu pendirian
d.
Jumlah
kekayaan awal yang dipisahkan dan kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang
atau benda
e.
Cara
memperoleh dan penggunaan kekayaan
f.
Tata
cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota pembina, pengurus dan
pengawas
g.
Hak
dan Kewajiban anggota pembina, pengurus, dan pengawas
h.
Tata
cara penyelenggaraan rapat organ yayasan
i.
Ketentuan
mengenai perubahan anggaran dasar
j.
Penggabungan
dan pembubaran yayasan
k.
Penggunaan
kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan yayasan adalah pembubaran.
Dalam Anggaran Dasar Yayasan tersebut diatas terdapat beberapa
kriteria yang menjadi pokok pendirian yayasan, antara lain :
a.
Nama
dan tempat kedudukan yayasan
b.
Maksud
dan tujuan pendirian yayasan
c.
Jangka
waktu pendirian sebuah yayasan
d.
Jumlah
kekayaan awal yayasan.
Ketentuan yang tertuang dalam anggaran dasar yayasan pada
prinsipnya dapat diubah dengan kriteria terpenuhinya atau hadirnya/terwakili
semua anggota organ yayasan, dalam suatu rapat untuk mengambil suatu keputusan
rapat mengenai perubahan isi anggaran dasar terkecuali mengenai maksud dan
tujuan pendirian yayasan.
Undang – undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan secara tegas
mengatur bahwa anggaran dasar yayasan dapat diubah, kecuali mengenai maksud dan
tujuan yayasan.[19]
Perubahan anggaran dasar yayaasan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan
keputusan rapat pembina, kuorum yang diperlukan untuk mengambil keputusan
perubahan anggaran dasar yayasan dalam rapat pembina adalah apabila dihadiri
oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota pembina.[20]
Dalam hal mana kuorum tidak tercapai, rapat pembina kedua dapat
diselenggarakan paling cepat 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal rapat
pembina yang pertama, dengan ketentuan bahwa rapat kedua ini dapat dianggap memenuhi
kourum apabila dihadiri ½ (seperdua) dari jumlah seluruh anggota pembina, dan
rapat ini dianggap sah apabila keputusan tersebut disetujui dengan suara
terbanyak dari jumlah anggota pembina yang hadir.
Undang – Undang menetapkan ada dua keriteria bagi perubahan
anggaran dasar yaitu pertama dikatakan bahwa perubahan anggaran dasar meliputi
”nama” dan ”kegiatan” yayasan harus mendapat persetujuan Menteri Hukum Dan Hak
Azasi Manusia. Kedua bagi perubahan anggaran dasar mengenai hal lain cukup
diberitahukan kepada Menteri.[21]
Berdasarkan kedua kriteria yang disebutkan diatas maka dapat
dikatakan bahwa perubahan anggaran dasar yayasan harus mendapat pengesahan dan
atau persetujuan Menteri sesuai dengan materi perubahan yang dilakukan. Akan
tetapi apabila hanya perubahan – perubahan lainnya, cukup hanya diberitahukan
saja kepada Menteri Hukum Dan Hak Azasi Manusia tanpa harus dengan pengesahan.
Pada yayasan yang akta pendiriannya belum disahkan sebagai badan
hukum berarti anggaran dasarnya juga belum mendapat pengesahan, berarti
pengangkatan anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas yayasan belum sah, karena
belum disahkan pada rapat Pembina.
D.
Tanggung Jawab Pengurus Dalam Kegiatan Yayasan
Peranan Pengurus amat dominan pada suatu organisasi. Pada Yayasan
Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. Sebelum
adanya Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang – Undang Nomor 28 Tahun
2004, sering terjadi Pendiri merangkap sebagai Pengurus atau demikian sebaliknya.
Hal ini mengakibatkan sering timbulnya kepentingan pribadi dari pengurus
yayasan tersebut yang merugikan yayasan dalam menjalankan kegiatannya.
Peran Pengurus dalam Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan diatur dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 39. Pengurus tidak boleh
merangkap sebagai Pembina atau Pengawas. Larangan perangkapan jabatan dimaksud
untuk meghindari kemungkinan tumpang tindih kewenangan, tugas dan tanggung
jawab antara Pembina, Pengurus, dan Pengawas yang dapat merugikan kepentingan
Yayasan atau pihak lain.
Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan
yayasan baik didalam maupun di luar yayasan. Pengurus mempunyai tugas dan
kewenangan melaksanakan kepengurusan dan perwakilan yang harus dijalankan
semata – mata untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Adapun yang dapat
diangkat menjadi pengurus yayasan adalah orang perseorangan yang mampu
melakukan perbuatan hukum. Kewenangan pengurus meliputi :
a.
Melaksanakan
kepengurusan yayasan
b.
Mewakili
yayasan, baik di dalam maupun di luar pengadilan
c.
Mengangkat
dan memberhentikan pelaksanaan kegiatan yayasan
d.
Bersama
– sama dengan anggota pengawas mengangkat anggota pembina jika yayasan tidak
lagi mempunyai Pembina
e.
Mengajukan
perpanjangan jangka waktu pendirian, jika yayasan didirikan untuk jangka waktu tertentu
f.
Menandatangani
laporan tahunan bersama – sama dengan pengawas
g.
Mengusulkan
kepada pembina tentang perlunya penggabungan
h.
Bertindak
selaku likuidator jika tidak ditunjuk likuidator.
Disini nampak bahwa pengurus mempunyai tugas dan kewenangan yaitu melaksanakan
kepengurusan dan mewakili yayasan. Sehubungan dengan tugas dan kewenanagan
tersebut, Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang – Undang Nomor 28 Tahun
2004 menegaskan bahwa setiap anggota pengurus bertanggung jawab penuh secara
pribadi apabila yang bersangkutan menjalankan tugasnya tidak mematuhi ketentuan
anggaran dasar yayasan sehingga mengakibatkan kerugian bagi yayasan atau pihak
ketiga.[22]
Ketentuan ini merupakan konsekwensi dari fidusiary relationship antara yayasan
dengan pengurus selaku organ yayasan.
Dapat diketahui bahwa Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang
– Undang Nomor 28 Tahun 2004 memberi kebebasan kepada yayasan untuk mengangkat
anggota pengurus, yang tidak harus berasal dari dalam yayasan. Jika ada anggota
pengurus yang diangkat dari luar yayasan sama sekali tidak dilarang. Undang –
Undang Yayasan dalam hal ini menganut azas bebas dan terbuka dalam pengangkatan
pengurus. Pengurus tidak boleh merangkap sebagai pembina atau pengawas.[23]
Larangan merangkap jabatan ini. menurut penjelasan Pasal 31 Ayat (3) Undang –
Undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut, untuk menghindari kemungkinan tumpang
tindih kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antara pembina, pengurus, pengawas
yang dapat merugikan kepentingan yayasan atau pihak lain.
Ketentuan Pasal 31 ayat (2) maupun Pasal 40 ayat (3) menghendaki
agar pengangkatan anggota pengurus maupun pengawas, syaratnya adalah orang
perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum. Namun bukan berarti semua
orang dapat diangkat dengan mempertimbangkan berbagai aspek, seperti aspek
pendidikan dan pengalaman,aspek kemampuan dan tanggung jawab, aspek menejerial
dan profesional.
Pembina, pengurus dan pengawas dilarang merangkap jabatan dan
masing – masing harus bekerja secara profesional.
Pihak ketiga dapat mengawasi kerja dari organ yayasan tersebut,
sebagai bagian pengawasan dari luar untuk menyelesaikan permasalahan yayasan
secara represif. Jadi lembaga pemerikasaan di sini sebenarnya juga untuk
menilai profesionalitas personel organ yayasan.
Pengurus yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat
Pembina untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali
setelah jabatan pertama berakhir untuk masa jabatan 5 tahun dan ditentukan
dalam anggaran dasar, dan tidak ditentukan untuk berapa kali pengangkatan.
Pengurus yang baru harus meberitahukan kepada Menteri Hukum dan Hak Azasi
Manusia tentang pergantian pengurus sebelumnya.[24]
Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pengurus yang tidak
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar dapat dibatalkan oleh pengadilan, atas
permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan kejaksaan yang mewakili
kepentingan umum. Dalam hal pengurus selama menjalankan tugas melakukan
tindakan yang oleh pembina dinilai merugikan yayasan, maka berdasarkan
keputusan rapat pembina, pengurus tersebut dapat diberhentikan sebelum masa
kepengurusannya berakhir . Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan,
pemberhentian, dan penggantian pengurus diatur dalam anggaran dasar susunan
pengurus sekurang kurang nya terdiri dari atas : Seorang ketua, Seorang
sekretaris, dan Seorang bendahara.
Dalam praktek, seorang ketua pengurus yayasan harus dapat menjadi
penggerak yayasan yang mendorong yayasan untuk bergerak mencapai maksud dan
tujuannya. Oleh karenanya sebelum berlakunya Undang – Undang Yayasan, biasanya
yang diangkat menjadi ketua yayasan adalah para pencetus tujuan yayasan dan
para pendiri yayasan dengan masa jabatan yang tidak dibatasi. Namun dengan
berlakunya Undang –Undang Yayasan, hal itu tidak dimungkinkan lagi oleh karena
Undang – Undang Yayasan telah secara tegas mengatur pembatasan masa jabatan dan
mekanisme pemberhentian dan penggantian pengurus yayasan termasuk didalamnya
adalah ketua pengurus yayasan.
Pengurus yayasan mewakili yayasan didalam dan di luar pengadilan.
Pengurus yayasan menerima pengangkatan berdasarkan kepercayaan atau berdasarkan
fiduciary duty. Hal ini terlihat dalam Pasal 35 ayat (2) Undang – Undang Nomor
16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Undang – Undang ini pun membedakan antara
Pengurus dan Pelaksana Kegiatan Yayasan. Jika Pengurus tidak menerima gaji,
upah, atau honorarium, maka terbuka kemungkinan pembayaran kontraprestasi bagi
pelaksana kegiatan Yayasan.
Anggota Pengurus tidak berwenang mewakili Yayasan jika terjadi
perkara didepan pengadilan antara Yayasan dan anggota Pengurus yang
bersangkutan. Juga dalam hal terdapat kepentingan yang berbeda antara anggota
Pengurus dan kepentinga yayasan.[25]
Kewenangan Pengurus juga dibatasi dalam hal – hal yang mengikat yayasan sebagai
penjamin hutang, pengalihan kekayaan Yayasan, atau pembebanan atas kekayaan
Yayasan untuk kepentingan pihak lain.[26]
Jika pengurus melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama
Yayasan, anggaran dasar dapat membatasi kewenangan tersebut dengan menentukan
bahwa untuk perbuatan hukum tertentu diperlukan persetujuan terlebih dahulu
dari Pembina dan atau Pengawas, misalnya untuk menjaminkan kekayaan Yayasan
guna membangun sekolah atau rumah sakit.
Yayasan cakap melakukan perbuatan hukum sepanjang perbuatan hukum
itu tercakup dalam maksud dan tujuan yayasan yang dituangkan dalam anggaran
dasar yayasan tersebut. Dalam hal yayasan melakukan perbuatan hukum ultra
vires, yang diluar batas kecakapannya, maka perbuatan hukum tersebut batal demi
hukum. Guna menghindari pembatalan tersebut, maka diperlukan penafsiran atau
rumusan maksud dan tujuan yayasan, berpegang pada pengertian yang lazim menurut
kebiasaan, dan memperhatikan sejauh mana perbuatan tersebut dapat menunjang
kegiatan yayasan dalam rangka pencapaian maksud dan tujuan yayasan.
Undang – Undang Yayasan juga membuka kemungkinan Pengurus
bertanggung jawab tidak terbatas atas kerugian yang diderita oleh Yayasan. Jika
kepailitan terjadi karena kesalahan Pengurus, Pengurus dapat bertanggung jawab
secara tanggung renteng, kecuali Pengurus yang dapat membuktikan bahwa
kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, pengurus yang dinyatakan
bersalah oleh Pengadilan dalam mengurus suatu Yayasan, selama 5 (lima) tahun
sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat menjadi
Pengurus Yayasan manapun.
Pengurus dalam yayasan yang akta pendiriannya belum disahkan
menjadi badan hukum, apabila melakukan perbuatan hukum yang dilakukannya atas
nama yayasan sebelum yayasan memperoleh status badan hukum menjadi tanggung
jawab pengurus secara tanggung renteng, hal ini disebabkan kerena belum
disahkannya akata pendirian yayasan, berarti ketentuan tentang tata cara
pengangkatan pengurus yang diatur didalam anggaran dasarnya belum sah.
Berlakunya Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
berarti telah terjadi reformasi terhadap yayasan terutama yang berhubungan
dengan anggaran dasar. Reformasi yang perlu dilakukan mencakup aspek organ
yayasan (pembina, pengurus dan pengawas) serta wewenang masing – masing unsur
organ yayasan, pengelolaan kegiatan usaha yayasan menjadi jelas sehingga tidak
menjadi tempat persembunyian harta oleh para pendirinya dan pengelolaan
kegiatan usaha yayasan haruslah dikelola secara professional.[27]
Mengenai pertanggungjawaban pengurus terhadap kegiatan usaha
yayasan berkaitan erat dengan prinsip fiduciary relationship antara yayasan
dengan pengurus selaku organ yayasan oleh karena adanya perbuatan ultra vires
yang mengakibatkan kerugian bagi yayasan atau pihak ketiga. Kesalahan pengurus
tersebut merupakan kesalahan langsung karena telah menyebabkan kerugian maupun
kesalahan karena ikut menyebabkan kerugian. Untuk itu maka tanggung jawab
kegiatan usaha yayasan sangat penting dilakukan oleh setiap pengurus
berdasarkan prinsip kehati – hatian dan tanggung jawab. Pengelolaan kegiatan
usaha yayasan berkaitan erat dengan pengelolaan harta kekayaan yayasan, karena
hasil kegiatan usaha merupakan salah satu bentuk pendapatan yang menjadi harta
kekayaan yayasan.
Pengurus yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan yayasan
untuk kepentingan dan tujuan yayasan.[28]
Setiap pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab
untuk kepentingan dan tujuan yayasan.48 Setiap pengurus bertanggung jawab penuh
secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar, yang mengakibatkan kerugian yayasan
atau pihak ketiga.[29]
Yayasan sangat bergantung pada organ pengurus sebagai organ yang dipercayakan
untuk melakukan kegiatan dan melaksanakan fungsinya. Sehingga antara yayasan
dengan organ pengurus terdapat fiduciary relationship yang melahirkan fiduciary
duties. Pengurus hanya berhak dan berwenang bertindak atas nama dan untuk
kepentingan yayasan serta dalam batas – batas yang ditentukankan dalam Undang –
Undang Yayasan dan anggaran dasar yayasan. Setiap tindakan yang dilakukan
pengurus diluar kewenangan yang diberikan tersebut tidak akan mengikat yayasan.
Hal ini berarti, pengurus dalam melakukan tugasnya haruslah bertanggung jawab
mempergunakan wewenang yang dimilikinya berdasarkan anggaran dasar yayasan,
untuk tujuan yang patut yang sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan yang
tertuang dalam anggaran dasar yayasan.
Pengurus tidak boleh memperoleh keuntungan untuk dirinya pribadi
bila keuntungan tersebut diperoleh karena kedudukannya sebagai pengurus pada
yayasan itu.
Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001
dengan tegas menyatakan bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di
bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Dari
ketentuan Pasal 1 angka (1), maka pengurus mempunyai tanggung jawab agar dapat
mengelola harta kekayaan yang dipisahkan tersebut untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan pada akta pendirian yayasan. Dalam melakukan pengelolaan harta
tersebut sepenuhnya diarahkan untuk dapat mencapai tujuan pendirian yayasan
dengan melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha yayasan yang sebaik mungkin.
Pasal 5 ayat (1) Undang – Undang Yayasan Nomor 28 Tahun 2004
mengatur tentang harta kekayaan baik berupa uang, barang maupun kekayaan lain
yang diperoleh yayasan berdasarkan Undang – Undang ini, dilarang dialihkan
untuk dibagikan secara langsung atau tidak langsung baik dalam bentuk gaji,
upah, maupun honorium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada
pembina, pengurus dan pengawas. Dengan adanya ketentuan ini maka dengan
sendirinya setiap pengurus yayasan tidak dibenarkan menerima pengalihan harta
yayasan dengan alasan apapun.
Ditinjau dari aspek manajerial, agar yayasan dapat tumbuh
berkesinambungan dalam mencapai maksud dan tujuan yayasan, maka yayasan kiranya
perlu mempertimbangkan hal – hal berikut :
1)
Pendiri
dan pengurus harus bersedia meninggalkan kepentingan pribadi secara sukarela
menyumbangkan pikiran dan sumber daya lainnya bagi pencapaian maksud dan tujuan
yayasan.
2)
Visi
dan misi yayasan harus dirumuskan dengan jelas dan tegas sebagai dasar untuk
memberi arah dalam penyusunan rencana strategis dalam pencapaian maksud dan
tujuan yayasan.
3)
Pengelolaan
yayasan harus dijalankan secara transparan, karena pemodal, masyarakat, dan
pemerintah menuntut adanya keterbukaan dan akuntabilitas yang baik.
4)
Profesionalisme
pengelolaan yayasan akan menciptakan citra yang positif dimata pemodal,
masyarakat dan pemerintah. Dengan citra yang positif akan memudahkan yayasan
menggalang dukungan dan partisipasi berbagai pihak dalam menggali sumber
perdanaan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.
5)
Pengelolaan
yayasan dilakukan secara efektif dan efisien sebagaimana halnya suatu
organisasi bisnis, namun dana yang dihasilkan diperuntukkan sepenuhnya untuk
pencapaian maksud dan tujuan yayasan. Pengelolaan yayasan dilakukan berdasarkan
prinsip profesinalisme dan tidak cukup hanya dengan idealisme.
6)
Manajer
dan karyawan harus diberikan kompensasi yang layak kerena mereka harus dituntut
berprestasi sebagaimana layaknya maneger perusahaan biasa. Untuk menutupi
pengeluaran yang tinggi yayasan harus menciptakan gagasan yang kreatif dan kegiatan
yang menghasilkan nilai tambahan (added value) sehingga dengan mudah mendapat
dukungan dan simpati masyarakat serta tentunya akan dapat menghasilkan dana
bagi yayasan.
7)
Yayasan
harus menciptakan kegiatan dan program yang kreatif yang berorientasi pasar.
Program yang berorientasi pasar akan sangat disukai oleh konsumen sehingga
memudahkan yayasan menggali sumber pendanaan untuk mendukung kegiatanya. Untuk
itu sudah layaknya yayasan mengimplementasikan strategi pemasaran dalam upaya
mengidentifikasi potensi pasar, menciptakan program yang dibutuhkan masyarakat
dan melakukan promosi atas program – program tersebut. Pemasaran bukan lagi
dominasi dunia bisnis, tetapi sudah saatnya dilakukan oleh yayasan. Strategi
pemasaran yang berhasil akan menciptakan kepuasan konsumen, meningkatkan
partisipasi konsumen, meningkatkan dukungan publik, dukungan pemodal serta
meningkatkan efisiensi.
8)
Pengelolaan
keuangan dilakukan secara profesional berlandaskan prinsip transparansi,
efisiensi dan akuntabilitas. Walaupun uang bukan segalanya, tetapi tanpa uang
yayasan tidak dapat menjalankan kegiatannya. Oleh karena itu,pembukuan harus
diselenggarakan dengan tertib dan informasi keuangan dihasilkan tepat waktu
sehingga dapat dimanfaatkan oleh pengurus untuk tujuan evaluasi. Pengawasan dan
perencanaan.
9)
Pengurus
harus meningkatkan pemahaman tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Yayasan serta berbagai aspek hukum lainnya yang relavan untuk meyakinkan bahwa
segala tindakan dan keputusan yayasan telah sesuai dengan ketentuan perundang –
undangan yang berlaku.[30]
Apabila yayasan memiliki kegiatan kegiatan usaha maka pendapatan
dan biaya – biaya yang berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut perlu dicatat
secara terpisah. Bahkan yayasan dapat membentuk badan usaha tersendiri yang
mengelola kegiatan bisnis dari yayasan. Kegiatan usaha dari badan usaha yang
dimiliki oleh yayasan dapat mencakup antara lain, kesenian dan budaya,
olahraga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan
ilmu pengetahuan. Kegiatan usaha tersebut sebaiknya diserahkan kepada orang
yang memiliki kompetensi dalam pengelolaannya, sehingga tidak dianggap
merugikan oleh pembina, pengurus dan pengawas yayasan.
Keuntungan dari kegiatan komersial ini akan menjadi sumber
penerimaan kas bagi yayasan dan keuntungan ini tidak boleh dibagikan kepada
pembina, pengurus dan pengawas yayasan. Hal ini bertentangan dengan kebiasaan
pengurus yayasan di masa lalu, seringkali hasil usaha yayasan itu untuk
pribadi, bahkan akta pendirian yayasan seringkali dijadikan alasan untuk
mengalihkan harta kekayaan yayasan kepada pengurus (dan anak keturunnya).[31]
Dalam mengelola kegiatan usaha yayasan pengurus harus selalu
mengedepankan pengelolaan berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas
yaitu ikhtisar laporan tahunan disampaikan pengurus ke dalam rapat tahunan
pembina dan apabila rapat tahunan pembina menyetujui ikhtisar laporan tersebut,
berarti memberikan perlunasan dan pembebasan tanggung jawab sepenuhnya kepada
para anggota pengurus dan pengawas atau pengurusan dan pengawasan yang telah
dijalankan selama satu tahun buku.[32]
Pertanggung jawaban dalam melaksanakan kegiatan usaha yayasan harus
dilakukan secara transparansi dan akuntabilitas kepada publik. Untuk dapat
menentukan siapa yang dapat bertanggung jawab terhadap kerugian pada
penyelenggaraan usaha yayasan, maka yang bertanggung jawab itu siapa yang
melakukan kesalahan, apabila pengurus yang melakukan kesalahan atau kelalaian
maka penguruslah yang melakukan pertanggung jawaban, akan tetapi apabila kesalahan
itu merupakan kesalahan penyelenggara usaha maka penyelenggaralah yang
bertanggung jawab.[33]
Akan tetapi bagi pengurus yang dinyatakan bersalah dalam melakukan
pengurusan yayasan yang menyebabkan kerugian bagi yayasan, masyarakat atau
negara berdasarkan putusan pengadilan, maka dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
terhitung sejak tanggal putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap,
tidak dapat diangkat menjadi pengurus yayasan dimanapun. Namun tentang
pertanggung jawaban pengurus terhadap kerugian penyelenggaraan kegiatan
yayasan, pengurus dapat juga dipersalahkan. Hal ini berdasarkan Pasal 1367 Ayat
(1) Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa seseorang tidak
saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang –
orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang – barang yang
berada dibawah pengawasannya.54 Setiap kerugian yang terjadi dalam
penyelenggaraan kegiatan usaha yayasan harus dapat dipertanggung jawabkan
pengurus, terutama pertanggung jawaban ini akan disampaikan pada rapat Dewan
Pembina setahun sekali. Apabila pembina bermaksud untuk mendirikan suatu
kegiatan usaha yang mempergunakan modal dari harta yayasan, maka pembina harus
mengusulkan hal ini kepada pengurus, pembina tidak dibenarkan menyelenggarakan
kegiatan usaha yayasan tanpa sepengatahuan pengurus. Sebab dalam organ yayasan,
pembina hanya berwenang untuk menetapkan kebijakan umum dan rancangan anggaran
tahunan, hal ini dipertegas dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang –
Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang – Undang Yayasan Nomor 28 Tahun
2004 yang menyebutkan bahwa pembina adalah organ yayasan yang mempunyai
kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh Undang –
Undang dan kewenangan pembina meliputi :
1)
Keputusan
untuk melakukan perubahan Anggaran Dasar Yayasan.
2)
Pengangkatan
dan Pemberhentian anggota pengurus dan anggota pengawas yayasan.
3)
Penetapan
kebijakan umum yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan,
4)
Penetapan
keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan.
Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa Pembina hanya berwenang
untuk menetapkan kebijakan – kebijakan umum sesuai dengan Anggaran Dasar
Yayasan bukan mengurusi operasional penyelengaraan kegiatan yayasan apalagi
Pembina sampai merangkap jabatan sebagai penyelenggara kegiatan yayasan, maka
hal ini sangat bertentangan dengan Undang – Undang Yayasan yang ada. Dalam
menjalankan tanggung jawab tugasnya seorang pengurus harus berlandaskan pada
prinsip :
1.
Fiduciary
duty adalah prinsip yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercaya oleh
yayasan kepada pengurus.
2.
Duty
of skill and care adalah prinsip yang menunjuk kepada kemampuan serta kehati –
hatian tindakan Pengurus
3.
Statutory
duty adalah prinsip yang berkaitan dengan kekuasaan dan wewenang serta tanggung
jawab Pengurus Yayasan.
Ketiga prinsip ini menuntut
Pengurus untuk bertindak secara hati – hati dan disertai dengan iktikad baik
semata – semata untuk kepentingan dan tujuan Yayasan.
Sebagai badan yang berbadan
hukum (artificial Person) yayasan tidak bertindak sendiri dalam menjalankan
segala kegiatannya. Untuk itu diperlukan orang – orang yang memiliki kehendak,
yang akan menjalankan Yayasan tersebut, sesuai dengan maksud dan tujuan
pendirian Yayasan. Orang – orang yang akan menjalankan, mengelola dan mengurus
yayasan dalam Undang – Undang Yayasan pasal 2 disebut dengan istilah organ
yayasan.
Fiduciary (fidusia) dalam
bahasa latin dikenal sebagai fiduciaries yang berarti kepercayaan. Kepercayaan
yang dipegang seseorang untuk kepentingan orang lain Fiduciary duty adalah
tugas yang dijalankan oleh Pengurus dengan penuh tanggung jawab untuk
kepentingan (benefit) orang atau pihak lain (yayasan). Seseorang memiliki
kepastian fiduciary duty jika bisnis yang ditransaksikannya, harta benda atau
kekayaan yang dikuasainya bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk
kepentingan orang lain. Orang yang memberikan kewenangan tersebut memiliki
kepercayaan yang besar kepadanya. Sebagai pemegang amanah, wajib memiliki
itikad baik dalam menjalankan tugasnya.[34]
Berdasarkan fiduciary duty,
pengurus dalam melakukan tugasnya haruslah berdasarkan kepercayaan yang
diberikan oleh pembina/pendiri, jadi harus berbuat bonafide,[35]
untuk kepentingan yayasan secara keseluruhan dan bukanlah untuk kepentingan pribadi
organ Yayasan, serta harus sesuai dengan tujuan dan maksud Yayasan.
Pengurus bertanggung jawab sepenuhnya atas kepengurusan Yayasan,
baik untuk kepentingan maupun tujuan Yayasan serta mewakili Yayasan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan, sesuai dengan azas persona standi in judicio.
Pengurus bertanggung jawab secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam
menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan anggaran dasar.
Berdasarkan kewenangan yang ada, Pengurus harus mampu
mengekspresikan dan menjalankan tugasnya dengan baik, agar Yayasan selalu
berjalan pada jalur yang benar atau layak. Hal ini ditegaskan dalam Undang –
Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 Pasal 35 yaitu :
1)
Pengurus
Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan
tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan.
2)
Setiap
pengurus menjalankan tugas dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab untuk
kepentingan dan tujuan Yayasan.
3)
Dalam
menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pengurus dapat
mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan yayasan,
4)
Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian pelaksana kegiatan
Yayasan diatur dalam Anggaran Dasar Yayasan.
5)
Setiap
pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam
menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan anggaran dasar, yang
mengakibatkan kerugian yayasan atau pihak ketiga.
Ketentuan dalam Pasal 35 ayat (1) artinya, kegiatan yang dilakukan
dan keputusan yang diambil, harus dilakukan demi kepentingan dan tujuan Yayasan
dan Pengurus tidak boleh mengatasnamakan Yayasan untuk melakukan segala sesuatu
di luar kepentingan dan tujuan Yayasan, kepentingan pribadi dan atau orang
lain.[36]
Dengan demikian Pengurus harus mampu menghindarkan Yayasan dari tindakan –
tindakan ilegal, bertentangan dengan peraturan dan kepentingan umum serta
bertentangan dengan kesepakatan yang dibuat dengan organ yayasan lain.
Pada Pasal 35 ayat (2) menunjukan bahwa pengurus dalam melakukan tugasnya
berdasarkan fiduciary duty.
Bilamana pengurus berbuat untuk keuntungan bagi diri mereka
sendiri, atau pihak ketiga, atau merugikan yayasan, perbuatan tersebut
memperlihatkan tidak adanya iktikad baik dari para pengurus tersebut. Ada 2
(dua) prinsip standar yang harus dipenuhi oleh pengurus dalam membuat
keputusan. Pertama, ia harus dilakukan dengan iktikad baik untuk kepentingan
Yayasan, dan ke dua, harus dibuat untuk tujuan yang benar sesuai dengan tujuan
Yayasan.
Pengurus juga berpedoman pada prinsip – prinsip dalam doktrin
fiduciary duty, yaitu:[37]
a.
Pengurus
di dalam melakukan tugasnya tidak boleh melakukannya untuk kepentingan pribadi
ataupun kepentingan pihak ketiga, tanpa persetujuan dan atau sepengetahuan
Yayasan (the conflict rule)
b.
Pengurus
tidak boleh memanfaatkan kedudukannya sebagai pengurus untuk memperoleh
keuntungan, baik untuk dirinya sendiri maupun pihak ketiga, kecuali atas
persetujuan yayasan (the profit rule)
c.
Pengurus
tidak boleh mempergunakan atau menyalahgunakan milik Yayasan untuk
kepentingannya sendiri dan atau pihak ketiga (the misappropriation rule)
Prinsip di atas konsepnya berbeda satu sama lain,tetapi sering kali
diterapkan secara bersamaan dan berhimpitan. Dalam hubungan dengan pengurus
tidak boleh memperoleh keuntungan pribadi karena posisi yang dijabatnya. Maka
dari itu, diantara tindakan pengurus yang dapat merugikan Yayasan adalah
melakukan transaksi antara Yayasan dan dirinya sendiri ataupun mengambil
kesempatan meperoleh keuntungan yang seharusnya untuk Yayasan, dilaksanakan
sendiri bagi kepentingan sendiri.
Berdasarkan konsep tersebut, Pengurus harus menghindari konflik
kepentingan. Tidak seorang Pengurus pun boleh melibatkan diri dalam suatu
kontrak, dimana ia memiliki kepentingan pribadi,yang dapat menimbulkan kemungkinan
terjadinya konflik kepentingan dengan kepentingan perusahaan yang harus
dilindunginya. Kontrak yang melibatkan konflik kepentingan seperti ini disebut
dengan ”voidable”. Didalam fiduciary duty juga terdapat kewajiban bagi pengurus
untuk melaporkan setiap keuntungan pribadi yang dimilikinya atau dimiliki
keluarga., ketentuan ini dimaksud untuk mendeteksi kemungkinan adanya self
dealing (yaitu mengetahui keuntungan yang dimiliki Pengurus atau keluarga
karena posisi yang dijabatnya dengan melakukan transaksi antara Yayasan ataupun
mengambil kesempatan memperoleh keuntungan yang seharusnya untuk yayasan,
dilaksanakan sendiri bagi kepentingan sendiri.[38]
Pengurus tidak hanya bertanggung jawab terhadap ketidak jujuran
yang disengaja (dishonesty).Tetapi juga bertanggung jawab secara hukum terhadap
tindakan kesalahan manajemen, kelalaian, kegagalan, atau tidak melakukan
sesuatu yang penting bagi yayasan/perseroan.[39]
Dengan demikian, pengurus bertanggung jawab penuh atas pengurusan Yayasan,
artinya secara Fiduciary harus melaksanakan standartd of care.
Sepanjang Pengurus bertindak dengan itikad baik, dan tindakan
tersebut semata – mata untuk kepentingan Yayasan, tetapi ternyata Yayasan tetap
menderita kerugian, maka Pengurus tidak serta merta bertanggung jawab secara
pribadi atas kerugian tersebut. Sehubungan dengan hal ini Pasal 39 ayat 2
Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 menyatakan bahwa pengurus tidak
dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian tersebut, apabila dapat membuktikan
:
a)
Kerugian
tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
b)
Telah
melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati – hatian untuk kepentingan
dan sesuai dengan maksud yayasan.
c)
Tidak
mempunyai benturan langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang
mengakibatkan kerugian.
a)
Telah
mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutan kerugian tersebut.
Ketentuan diatas
memperlihatkan bahwa Pengurus tidak boleh menimbulkan kerugian bagi yayasan,
yang disebabkan ketidakcakapannya ataupun kelalaiannya. Pengurus Yayasan dalam
menjalankan tugasnya berdasarkan prisip fiduciary duties, harus melakukan
pertimbangan sebagai berikut.
1.
Pengurus
harus mempertanggungjawabkan keuntungan pribadi karena jabatannya kepada
yayasan
2.
Menghindari
terjadinya konflik kepentingan dengan tidak terlibat dalam sebuah kontrak
dimana satu pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut adalah yayasan
3.
Menghindari
posisi yang memprioritaskan kepentingan pribadi atau pihak lain.
Jika pengurus tidak melaksanakan ketiga prinsip tersebut dalam
menjalankan tugasnya tentu yayasan dapat mengalami kerugian yaitu:
ü Bertransaksi dengan yayasan
ü Keuntungan yayasan diambil untuk kepentingan pribadi
ü Melibatkan diri dalam perjanjian yang menimbulkan benturan
kepentingan dengan yayasan.
ü Melakukan hal yang dapat memperoleh kontra prestasi dengan yayasan.
Untuk mengetahui apakah seseorang Pengurus telah melakukan tugasnya
secara baik dengan mengunakan kemampuan dan kepeduliannya (duties of care and
skill), maka standar yuridis yang umum adalah bahwa Pengurus harus menunjukan
derejat kepeduliannya (care) dan kemampuan (skill) seperti yang diharapkan
secara reasonable dari orang yang memiliki pengetahuan (knowledge) dan
pengalaman (experience).
Dengan demikian fiduciary
duty dapat dikatakan sebagai tugas yang diemban oleh Pengurus, dengan penuh
tanggung jawab dalam kapasitas dan fungsinya, demi kepentingan Yayasan.
Pengurus berkewajiban untuk mengelola Yayasan dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab, serta mengutamakan kepentingan Yayasan diatas kepentingan pribadi,
atau bahkan kepentingan organ Yayasan sekalipun.
Duty of skill and care ini
dianut dalam Pasal 39 Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001. Tugas yang
harus dilakukan dengan care and diligence timbul dari kepatutan atau kewajaran
(equity), sebagaimana tugas care and diligence timbul dari hubungan trustee
dengan beneficiary. Tugas – tugas pengurus tentu saja diatur menurut peraturan
Perundang – Undangan yang berlaku serta anggaran dasar Yayasan yang berlaku
sebagai Undang – Undang bagi Yayasan tersebut.
Kemampuan atau keahlian
mengurus Yayasan merupakan persyaratan yang harus dimiliki oleh Pengurus dan
Pengawas. Sebagai puncak pimpinan, kualifikasi profesional ini menjadi persyaratan
yang tidak dapat ditawar.[40] Pengurus
harus mempunyai keahlian (duty of skill) dan pengetahuan (knowlarge) serta
kehati – hatian (duty of care) dengan derajat yang paling tinggi untuk
mengelola suatu Yayasan. Oleh karena itu setelah diangkat, anggota Pengurus
sudah harus mampu mengelola Yayasan dengan sebaik – baiknya.
Tugas dan kewajiban Pengurus
dalam hubungan dengan duty of skill and care bersumber dari kontrak,
keputusan/kewajaran, peraturan Undang – Undang serta Anggaran Dasar. Tugas yang
harus dilakukan tentu saja diatur menurut peraturan perundang – undangan yang
berlaku serta Anggaran Dasar Yayasan yang berlaku sebagai Undang – Undang bagi
Yayasan tersebut.
Dengan adanya duty of cere,
Pengurus diharuskan untuk bertindak dengan kehati – hatian dalam membuat segala
keputusan dan kebijakan Yayasan. Kebijakan yang dibuat harus tetap
mempertimbangkan segala informasi – informasi yang ada secara patut dan wajar.
Berdasarkan kewenangan yang
ada, Pengurus harus selalu waspada dan bertindak dengan perhitungan yang
cermat. Dalam kebijakan yang dibuatnya dan mempertimbangkan keadaan, kondisi,
dan biaya pengelolaan yang benar.
Apabila pengurus mengetahui
perbuatan yang akan dilakukannya bertentangan dengan hukum atau peraturan yang
berlaku, maka Pengurus Yayasan tersebut sudah seharusnya tidak melakukannya.
Berdasarkan doktrin business
judgement rule, Pengurus tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari
suatu tindakan pengembilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan pada
itikad baik dan kehati – hatian serta jujur (honestly).
Jika Pengurus memiliki
benturan kepentingan dengan Yayasan ataupun melakukan perbuatan curang,
bertindak dengan itikad buruk atau jika mereka membuat keputusan yang ilegal.
Pengurus akan diajukan kepengadilan.
Business judgement rule
memberikan perlindungan bagi pengurus sepanjang Pengurus benar – benar telah
melaksanakan tugasnya dengan itikad baik dan semata – mata untuk kepentingan
Yayasan.
Standart of care merupakan
suatu standar yang mewajibkan seseorang dalam bertindak untuk memperhatikan
segala resiko. Prinsip kehati – hatian dan ketelitian harus diditerapkan,
supaya dapat menghindari segala kemungkinan – kemungkinan yang tidak
diinginkan.
Kelalaian atau kealpaan
Pengurus dapat dihubungkan dengan Pasal 1366 KUHPerdata ”Setiap oraang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang kehati –
hatian.
Seseorang pada dasarnya
tidak dapat dinyatakan melakukan kesalahan karena kelalaian, besar atau kecil,
kecuali dapat ditentukan sampai berapa jauh atau luas tugas yang diduga telah
dilalaikan.
Duties of Loyalty merupakan
sikap setia, yang harus ditunjukkan oleh Pengurus dalam Yayasan yaitu sikap
yang didasarkan pada pertimbangan rasional dan profesional. Dalam arti,
Pengurus harus mampu bersikap tegas sesuai dengan visi dan misi serta Anggaran
Dasar Yayasan. Maksud dari kesetian adalah Pengurus harus selalu berpihak pada
kepentingan Yayasan yang dipimpinnya.
Pengurus yang diberikan
kepercayaan oleh Pendiri/Pembina harus bertindak untuk kepentingan dan tujuan
Yayasan, serta bertindak dengan mengutamakan kepentingan Yayasan diatas
kepentingan pribadi.
Kepatuhan dan pengabdian
kepada Yayasan, merupakan tugas dan kewajiban utama dari seorang pengurus,
Pengurus diwajibkan untuk menggunakan seluruh kemampuan, pengaruhnya, dan
menggunakan seluruh sumber daya yang ada untuk memberikan nilai tambah ke
Yayasan.
Tugas pengabdian (loyalty),
merupakan tugas yang menempatkan kepentingan pribadi Pengurus di bawah
kepentingan Yayasan dan Pendiri/Pembina. Pengurus dilarang menggunakan
posisinya untuk mengutamakan kepentingan pribadi atas kepentingan Yayasan, yang
telah memberikan kepercayaan dan segala perbuatan hukum yang menguntungkan
pribadi Pengurus dan merugikan Yayasan.
Prinsip Statutory duty
merupakan kekuasaan dan tanggung jawab Pengurus dalam menjalankan kegiatan
serta mempunyai kewenangan tidak terbatas.
Kewenangan Pengurus
terlimitasi dengan Undang – Undang Yayasan dan Anggaran Dasar Yayasan.
Undang–Undang menganggap perlu memberikan pembatasan bahkan
larangan bagi Pengurus Yayasan untuk melakukan tindakan pengurusan tertentu.
Karena tindakan – tindakan yang dilarang ditentukan secara tegas dalam Undang –
Undang.
Ketentuan didalam Undang –
Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 yang mengatur tentang kekuasaan dan wewenang
serta tanggung jawab pengurus yayasan ada pada Pasal 35 ayat (5) yang
menyebutkan : setiap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila
yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar, yang mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga.
Dari ketentuan Pasal 35 ayat
(5) diatas bahwa kekuasaan dan wewenang pengurus Yayasan didasarkan dan
dibatasi oleh anggaran dasar Yayasan yang bersangkutan. Kewenangan bertindak
pengurus yayasan, seperti halnya kewenangan bertindak pengurus suatu badan
hukum dirumuskan dalam anggaran dasarnya. Anggaran dasar merupakan hukum
positif yang mengikat semua organ Yayasan. Kekuatan mengikat anggaran dasar
tidak dapat dikesampingkan. Dalam hal ingin melakukan hal – hal yang
bertentangan atau tidak sejalan dengan anggaran dasar sesuai dengan ketentuan
dalam Undang – Undang Yayasan dan Aggaran Dasar itu sendiri. Dengan demikian,
pengurus Yayasan menjalankan apa yang dikenal sebagai perwakilan statuter yaitu
perwakilan berdasarkan anggaran dasar.
Anggaran dasar dapat membatasi kewenangan Pengurus dalam melakukan
perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan.[41]
Dengan menentukan bahwa untuk melaksanakan perbuatan hukum tertentu diperlukan
persetujuan terlebih dahulu dari Pembina dan/atau Pengawas, misalnya untuk
menjamin kekayaan Yayasan guna membangun rumah sakit.
Jadi wewenang Pengurus tidak
timbul dari perturan perundang – undangan, jadi hanya berdasarkan anggaran
dasar, tidak dapat dipaksakan oleh pihak ketiga atau terhadap pihak lain.
Anggota pengurus tidak
berwenang mewakili Yayasan dalam hal terjadi perkara didepan pengadilan antara
yayasan dengan anggota pengurus yang bersangkutan. Dan bila hal ini terjadi
maka yang berhak mewakili Yayasan akan ditetapkan dalam Anggaran Dasar.[42]
Yayasan sama sekali tidak
diperkenankan,untuk mengikat Yayasan sebagai penjamin hutang, dan membebani
kekayaan Yayasan, Pengurus dapat melaksanakan tindakan tersebut, sepanjang
telah mendapat persetujuan dari Pembina,[43]
Pengurus juga dilarang, mengadakan perjanjian dengan organisasi yang
terafiliasi dengan Yayasan, Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan, atau
seseorang yang bekerja pada Yayasan.[44]
Larangan tersebut tidak berlaku dalam hal perjanjian tersebut bermanfaat bagi tercapainya
maksud dan tujuan Yayasan.[45]
Bila terjadi kepailitan
karena kesalahan atau kelalaian Pengurus dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk
menutupi kerugian, maka setiap anggota pengurus secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.[46]
Apabila Pengurus dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya, maka pengurus tidak bertanggungjawab secara tanggung renteng atas
kerugian tersebut.[47]
Dalam hubungannya dengan
laporan tahunan maka pengurus harus membuat dan menyimpan catatan dengan baik
dan wajib membuat laporan.[48]
Dan dalam jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung sejak tanggal tahun buku
Yayasan ditutup, pengurus wajib menyusun laporan tahunan secara tepat.
Setiap tindakan yang
dilakukan Pengurus diluar kewenangan yang diberikan tidak akan mengikat
Yayasan, artinya Pengurus dapat melakukan tugasnya, haruslah bertanggungjawab
mempergunakan wewenang yang dimiliknya berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan,
untuk tujuan yang patut, yang sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan yang
tertuang dalam Anggaran Dasar Yayasan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004 menjadi dasar hukum pendirian
Yayasan, UU ini tidak mengganti Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001. Perubahan
dalam UU terbaru ini hanya sekedar mengubah sebagian Pasal – Pasal dari Undang
– Undang Nomor 16 Tahun 2001.
Pasal 1 angka (1) Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang –
Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan jelas menegaskan bahwa Yayasan harus
bertujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Pendirian suatu yayasan di dalam hukum perdata disyaratkan dalam dua
aspek yaitu: Pertama aspek material meliputi; harus ada suatu pemisahan
kekayaan, suatu tujuan yang jelas, dan ada organisasi ( nama,susunan dan badan
pengurus), kedua aspek formal yakni pendirian yayasan dengan akta otentik. Ada
tiga proses yang perlu diperhatikan dalam pendirian yayasan yaitu : Proses
Pendirian Yayasan, Proses Pengesahan Akta Pendirian Yayasan, dan Proses
Pengesahan Akta Pendirian Yayasan.
Peran Pengurus dalam Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan diatur dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 39. Pengurus tidak boleh
merangkap sebagai Pembina atau Pengawas. Larangan perangkapan jabatan dimaksud
untuk meghindari kemungkinan tumpang tindih kewenangan, tugas dan tanggung
jawab antara Pembina, Pengurus, dan Pengawas yang dapat merugikan kepentingan
Yayasan atau pihak lain.
B.
Saran
Tulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, jika ada kesalahan dalam penulisan makalah ini mohon kiranya
Ibu Rina Yunarti, SH., M.Kn untuk
menegoreksinya, untuk dijadikan pengalaman sebagai penulisan makalah
selanjutnya, agar lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar Borahima, Kedudukan Yayasan di Indonesia: Eksistensi,Tujuan
dan Tanggung Jawab Yayasan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi,Hukum Yayasan Di Indonesia,
Abadi, Jakarta,2003
Chaidir Ali, Badan Hukum, PT.Alumni, Bandung, 2005
Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan Edisi Revisi, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006
Edi Suharto,Pekerjaan Sosial Industri,CSR Dan ComDev,
Http://pkbl.bumn.go.id/file/PSICSR ComDev-edi%20suharto.pdf., di akses pada
tanggal 17 Desember 2012
Gatot Supramono, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang Undang Nomor
19 Tahun1 992, Jakarta, Djambatan, 1996
Gunawan Wijaya, Suatu Panduan Konprehensif Yayasan Di Indonesia,PT.Elex
Media Komputindo,Jakarta, 2002
H.P.Pangabean, Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan (
Termasuk Aset Lembaga Keagamaan) & Upaya Penanganan Sengketa Melalui
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002
Handri Raharjo, Hukum Perusahaan, Penerbit Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2009
L.Boedi Wahyono dan Suyud Margono, Hukum Yayasan Antara Fungsi
Kariatif Atau Komersial, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta,2001
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003
Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf,
PT.Eresco, Bandung, 1993
Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
Wahyono Darmabrata,” Implomentasi Good Corporate Govermance
Menyikapi Bentuk – Bentuk Penyimpangan Fiduciary Duty Direksi dan Komisaris
Perseroan Terbatas” Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22. Nomor 6 Tahun 2003
YB, Sigit Hutomo, Reformasi Yayasan Perspektif Hukum Dan Manajemen,
The Jakarta Consulting Group (Editor) 360” Approach on Foundation, Andi,
Yogyakarta, 2002
[1] Rochmat
Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, PT.Eresco, Bandung,
1993, hlm.165
[2] Handri
Raharjo, Hukum Perusahaan, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hlm. 18
[3] Ibid
[4] H.P.Pangabean,
Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan ( Termasuk Aset Lembaga
Keagamaan) & Upaya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hlm. 10.
[5]
Pasal 3 ayat (2) dan ayat (5) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004
[6]
Pasal 11 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004.
[7]
Pasal 24 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004.
[8] Arie
Kusumastuti Maria Suhardiadi,Hukum Yayasan Di Indonesia, Abadi, Jakarta,2003,
hlm.1
[9] L.Boedi
Wahyono dan Suyud Margono, Hukum Yayasan Antara Fungsi Kariatif Atau Komersial,
CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta,2001,hlm. 8
[10] Chatamarrasjid
Ais, Badan Hukum Yayasan Edisi Revisi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006,
hlm. 51
[11] Edi
Suharto,Pekerjaan Sosial Industri,CSR Dan ComDev,
Http://pkbl.bumn.go.id/file/PSICSR ComDev-edi%20suharto.pdf., di akses pada
tanggal 17 Desember 2012
[12] Chaidir Ali,
Badan Hukum, PT.Alumni, Bandung, 2005, hlm. 88
[13] Ibid, hlm. 90
[14] Gatot
Supramono, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang Undang Nomor 19 Tahun1 992,
Jakarta, Djambatan, 1996, hlm. 40
[15] Pasal 12 ayat
(2) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004.
[16] Pasal 13 ayat
(1) Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001
[17] Anwar
Borahima, Kedudukan Yayasan di Indonesia: Eksistensi,Tujuan dan Tanggung Jawab
Yayasan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 47.
[18] Gatot
Supramono, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang Undang Nomor 19 Tahun1 992,
Jakarta, Djambatan, 1996, hlm. 42
[19] Pasal 17
Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001
[20] Pasal 18
Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001.
[21] Gunawan
Wijaya, Suatu Panduan Konprehensif Yayasan Di Indonesia,PT.Elex Media
Komputindo,Jakarta, 2002, hlm. 38
[22] Anwar
Borahima, Op. Cit, hlm. 222
[23] Pasal 31 ayat
(3) Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001
[24] Pasal 32 dan
33 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004
[25] Pasal 36 ayat
(1) Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001
[26] Pasal 37 ayat
(1) Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001
[27] YB, Sigit
Hutomo, Reformasi Yayasan Perspektif Hukum Dan Manajemen, The Jakarta
Consulting Group (Editor) 360” Approach on Foundation, Andi, Yogyakarta, 2002,
hlm.144
[28]
Pasal 35 ayat (1) Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001
[29] Pasal 35 ayat
(5) Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001
[30] HP.Pangabean,
Op.cit, halaman 157
[31] YB Sigit
Hutomo, Op.cit, halaman 131
[32] Ibid
[33] Ibid
[34] Munir Fuady,
Perseroan Terbatas-Paradikma Baru, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
halaman 33
[35]Bonafide
berarti : in or with good faith, honestly,opernly, and sincerely, withaout
deceit or fraud, etc. (Black’s Law Dictionary)
[36]
Wahyono Darmabrata,” Implomentasi Good Corporate Govermance Menyikapi Bentuk –
Bentuk Penyimpangan Fiduciary Duty Direksi dan Komisaris Perseroan Terbatas”
Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22. Nomor 6 Tahun 2003 Halaman 31
[37] Chatamarrasjid
Ais, Badan Hukum Yayasan Edisi Revisi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006,
halaman 108.
[38]Ibid, hlm. 109
[39] Munir Fuady,
Perseroan Terbatas Paradigma Baru,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003).halaman
82
[40]
Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good Corporate
Govermance, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 2002, halaman 144.
[41] Pasal 37 angka
(2) Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001
[42] Pasal 36
Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001.
[43] Pasal 37 angka
(1) Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001.
[44] Pasal 38 angka
(1) Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001.
[45] Pasal 38 angka
(2) Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001
[46] Pasal 39 angka
(1) Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001
[47] Pasal 39 angka
(2) Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001.
[48] Pasal 48
Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar